Surabaya (KN) – Kabar bahwa pekerjaan proyek PL (penunjukan lansung) akan dihapus oleh Pemkot Surabaya dan dialihkan menjadi proyek-proyek swakelola, mendapat reaksi keras adari para rekanan klas kecil di Pemkot Surabaya, karena para rekanan kecil itu selama ini hanya menggantungkan adanya proyek-proyek penunjukan langsung.
Mereka memprotes proyek sewakelola yang dilaksanakan sendiri oleh masing-masing dinas terkait, dengan tanpa melibatkan lembaga independen (eksternal) seperti kontraktor dan konsultan perencanaan maupun konsultan pengawas. Padahal, sesuai dengan Keppres 80 th 2003 yang kini diperbaharui dengan Perpres 54 th 2010, setiap penggunaan anggaran yang bersumber dari APBD dan APBN harus disertai perencanaan dan pengawasan untuk pertanggung jawaban.
Berdalih mengacu pada Perpres 54/2010, Pemkot Surabaya telah memberlakukan pelaksanaan atau pengerjaan proyek fisik dengan swakelola. Sementara penunjukan langsung (PL) sudah tak lagi diberlakukan.
Rupanya hal ini membuat rekanan pemkot yang biasanya mengandalkan proyek melalui PL, menjerit. Pasalnya, melalui swakelola, mereka akan mati tak kebagaian pekerjaan proyek di Pemkot. Sedangkan pekerjaan proyek sewakelola yang dijalankan Pemkot itu justru lebih berpihak pada orang-orang pemkot sendiri, apalagi orang yang dekat dengan pejabat di lingkungan pemkot. Ini yang berpeluang terjadinya KKN.
Dalam hering di Komisi C DPRD Surabaya, Senin (9/5), mereka para rekanan Pemkot mengaku sangat sulit bertahan sebagai rekanan jika terus memberlakukan proyek swakelola. Karena dalam lelang terbuka mereka juga tak pernah bisa lolos jadi pemenang, sebab yang dipilih jadi pemenang lelang proyek bersekala besar hanya rekanan yang berduit besar dan pandai melobi.
Sebelumnya, proyek PL, mengacu pada Perpres 80/2003, nilai yang bisa diserahkan langsung ke rekanan tanpa lelang hanya sebatas Rp 50 juta. Sementara dengan swakelola, nilai proyek yang bisa dikerjakan melalui cara ini di bawah Rp 100 juta. Selebihnya, nilai yang lebih tinggi harus dengan lelang.
Menurut beberapa rekanan, dengan cara swakelola ini justru memberi peluang terjadinya korupsi. Sebab selain hanya dikerjakan oleh orang-orang Pemkot sendiri melalui orang dekatnya.
Salah satu yang menyuarakan hal itu adalah Usman Hakim. Menurut rekanan kecil di Pemkot ini, swakelola ini pengawasannya sangat lemat. Apalagi yang menjalankan adalah unit-unit di Pemkot atau bisa dikatakan unit teknis dinas itu sendiri menjadi yang jadi kontraktornya. “Ini sangat membuka peluang korupsi,” tandasnya dihadapan Komisi C.
Memang, dengan swakelola, Pemkot tak perlu lagi mengerjakan proyek-poryek yang nilainya dibawa Rp 100 juta, tapi cukup dikerjakan sendiri oleh masing-masing dinas. Tapi apakah hal itu juga berjalan dengan baik, karena masih ada tengara jika proyek itu dikerjakan orang dekat pejabat di Surabaya.
“Padahal dalam setiap anggaran negara baik itu APBD atau APBN, tetap harus ada perencanan dan pengawasan untuk pertanggungjawaban. Bahkan Perpres 54 juga tak terlalu paten mengatur swakelola, karena masih bisa dengan PL,” kata rekanan yang lain.
Ketua Komisi C M DPRD Surabaya Sachiroel Alim menegaskan, Pemkot terlalu menyiasati dengan menafsirkan Perpres 54 dengan kaku. PL yang bahasanya diganti dengan pengadaan langsung, diasumsikan dengan swakelola. Padahal penjelasannya tidak seperti itu.
Agus Sudarsono dari Komisi C juga menimpali jika pemkot jangan menyembunyikan penjelasan tentang swakelola tersebut.
Komisi C meminta kepada Dinas PU Bina Marga dan Pematusan serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang untuk tetap memberi ruang gerak kepada rekanannya, khususnya rekanan kecil. (anto)