KORAN NUSANTARA
indeks Lapsus

Diduga Indentik Dengan Kepentingan Pragmatisme, Warga Pemilik Lahan di Pamurbaya Melawan Pemkot

Pemberlakuan kawasan konservasi sepanjang pantai wilayah Timur hingga hampir 10 Km jauhnya dari tapal batas bibir pantai yang dikenal dengan konsep East Coast Surabaya, diduga merupakan bagian dari proyek kepentingan oknum pejabat Pemkot yang bersifat pragmatisme, karena cantolan hukumnya ternyata masih belum mempunyai kekuatan hukum yang kuat namun dilapangan telah diberlakukan secara sepihak kepada masyarakat, sehingga menyengsarakan pemilik ribuan hektar lahan di kawasan itu. Surabaya (KN) – Para warga yang berada di wilayah kawasan Surabaya Timur kini mulai berani melawan Walikota Surabaya beserta jajaran pengatur perencanaan kota yang telah merampas hak penggunaan mereka untuk dalih konservasi yang diduga “bodong” melalui legal Perda basi no.3 tahun 2007 tentang RTRW Surabaya sebagai konsep pengganti masterplan Surabaya tahun 2000. Karena kawasan konservasi yang diplot diatas tanah milik warga (bukan milik Pemkot) tersebut belum disahkan oleh Menteri Kehutanan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku di negeri ini.

Perda 3 tahun 2007 tersebut harus ada rencana detail ruang wilayah kota (RDTRK) dan Zonasi Ruang Wilayah Kota (RTRK) dalam bentuk peraturan daerah, sebagai penjabaran teknis Perda RTRW untuk dapat diberlakukan kepada masyarakat. Selain wajib dilakukan sosialisasi dalam rangka mengkaji tanah warga yang bakal terkena konservasi hutan lindung, sebelum ditetapkan oleh menteri kehutanan sebagaimana perda master plan Surabaya tahun 2000. Namun karena terlampau berambisinya pejabat pemkot, maka sebelum landasan hukumnya kuat diberlakukan kepada masyarakat sehingga samahalnya dengan keinginan “merampas” hak rakyat Surabaya wilayah Surabaya Timur.

Bahkan ada diantara warga Surabaya Timur yang di polisikan oleh pejabat Pemkot, meskipun akhirnya bebas murni karena melanggar hak kepemilikan warga yang dijamin oleh Undang-Uundang dan peraturan lainnya, serta hak azasi manusia.
Mereka mulai berani menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), seperti yang diawali dari gugatan permilik lahan di kelurahan Keputih Tambak (Desa asli Surabaya sebelum beralih menjadi Kelurahan red), Lily dan kini tengah disidangkan di Peratun Surabaya, Medaeng. Lily adalah salah satu korban garis pulpen pejabat Pemkot Surabaya, yang tajamnya setajam pisau “menghabisi” penggunaan tanahnya agar beralih menjadi hutan konservasi, sehingga statusnya seperti tanah makam yang tidak bisa di apa-­apakan.

Pulpen pejabat Pemkot tersebut saking tajamnya, sampai lupa diri dengan karma seperti pepatah jawa yang melarang anak-anaknya. Pertama, dalam kehidupan tidak boleh beternak uang dan ijon. Kedua, tidak boleh melanggar pagar ayu (mengambil istri orang red) dan ketiga tidak boleh ngiris atau menggaris tanahnya milik orang lain, karena jika itu dilakukan bukan tidak mustahil ketika meninggal dunia akan terjepit oleh bumi yang dijadikan makamnya.

Setelah warga yang diketahui bernama Lily tersebut, diperkirakan masih akan banyak lagi warga atau penduduk wilayah Surabaya Timur yang akan mempertaruhkan kepemilikannya melalui peratun, karena kepemilikan mereka dijamin oleh undang-undang pokok agrarian, kecuali telah diwariskan, dijual dan dihibahkan. Pemkot tampaknya belum kenal dengan undang-undang tersebut termasuk undang-undang HAM, sehingga secara membabi buta menolak semua pengajuan penggunaan tanah milik warga untuk kepentingan pemiliknya. Seharusnya sebagai pejabat pemerintah yang dibayar oleh rakyat, kewajiban pemkot hanya mengatur penggunaan tanah sesuai undang­-undang tentang tata ruang dan peraturan pemerintah tentang tata ruang serta bukan menolaknya.

“Hak milik sesusi undang-undang tersebut kalau di Surabaya kalah dengan pulpen pejabat, wong ancaman moral karma saja sudah tidak takut. Sehingga bagi pemilik tanah wilayah Surabaya timur hanya pasrah berdoa saja supaya pejabat pemkot terutama walikotanya dapat ilham menjadi orang baik, apabila semua upaya hukum tetap saja kandas,” keluh salah seorang pemilik tanah di wilayah Surabaya Timur yang terkena garis konservasi pulpen pejabat Pemkot.

Jika pemkot tetap bersikukuh, bukan tidak mustahil dapat menimbulkan kerawanan sosial mengingat jumlah warga yang tanahnya terkena garis pulpen pejabat Pemkot itu puluhan ribu yang kondisinya sekarang dalam taraf wait and see.

Sementara gugatan Lily tersebut saat ini dalam proses pembuktian di PTUN Surabaya, sedangkan Pemkot akan bertahan hidup dan mati sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan dibalik itu ada faktor apa.

Salah satu informasi yang berkembang oleh akibat kesalahan pejabat Pemkot itu sendiri dalam memberikan perizinan pembangunan kawasan. Anehnya, kesalahan tersebut ditimpakan kepada masyarakat lagi dan bukan ditanggung oleh pejabat Pemkot itu sendiri. Harusnya jika mau fair, Pemkot harus melakukan pembebasan tanah-tanah penduduk dulu sebelum mengenakan pulpen saktinya untuk menghabisi warganya sendiri yang selama ini mengidupi pejabat Pemkot. (red)

 

Foto : lahan kawasan pantai tumur Surabaya

Related posts

Salah Siapa? Data Warga Surabaya Dalam e-KTP Dengan KTP Lama Tak Sesuai

kornus

Tersangkut Masalah Hukum, Enam PNS di Pemprov Jatim Terancam Dipecat

kornus

KRI Nanggala Dinyatakan Subsunk, Gubernur Khofifah : Kami Berduka, Prajurit Mayoritas Warga Jatim

kornus