Surabaya (KN) – Izin pendirian minimarket itu tak berpatok pada izin utamanya saja, Izin Usaha Toko Moderen (IUTM). Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah izin dasarnya, yaitu Izin Perubahan Peruntukan, Izin Mendirikan bangunan (IMB) dan HO (Izin Gangguan).Karena itu, penertiban tiga minimarket di Surabaya itu dianggap dewan salah sasaran. Bahkan ada kesan penertiban tiga minimarket itu hanya untuk memenuhi desakan dewan yang sudah sejak 2009 menyuarakan penertiban minimarket tersebut.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya Erick Reginal Tahalele, bagi orang awam, tindakan Satpol PP itu pasti diacungi jempol karena dianggap tegas. Namun berbeda jika pandangan itu dilihat dari sisi orang yang paham aturan atau perizinan penertiban tiga minimarket yang dilakukan Satpol PP beberapa waktu lalu itu hanya isapan jempol belaka. ” “Tentu tindakan Satpol PP itu itu hanya untuk menyenangkan hati saja, itu yang juga menimbulkan kecurigaan, ada apa dibalik semua itu?,” katanya.
Erick mengatakan, sebenarnya di Surabaya itu ada banyak minimarket yang jumlahnya mencapai 397 minimarket sampai April 2011. Dari jumlah itu, 219 diantaranya adalah minimarket bermasalah yang tak memiliki izin lengkap, bahkan tak memiliki izin sama sekali.
“Seharusnya yang lebih dulu ditertibkan adalah minimarket yang benar-benar tak memiliki izin. Lihat dulu Izin Peruntukanya, IMB dan HO-nya, kalau tak ada, langsung ditertibkan tanpa harus alasan ini dan itu. Sebab, kalau izin-izin itu tidak ada, jelas tak mungkin mendapat IUTM,” jelasnya.
Menjamurnya Minimarket tanggungjawab Walikota
Semakin menjamurnya minimarket hingga diperkampungan dan tak berizin itu, DPRD menilai Walikota Surabaya yang harus bertanggungjawab dalam hal membuat kebijakan atas maraknya pembangunan minimarket di kota ini. Walikota selaku pembuat kebijakan tentu harus bisa melaksanakan penataan minimarket di Surabaya yang menjamur sampai diperkampungan. Bila Walikota tidak segera bertindak tegas terhadap maraknya pendirian minimarket diperkampungan dan membiarkan yang tak berizin lengkap itu tetap buka, maka Walikota bisa dinilai tidak peduli dengan usaha kecil warganya (toko pracangan, kios kecil) hancur karena kalah bersaing dengan toko moderen (minimarket-minimarket) tersebut.
Sebab, walau sudah ada Perda 1/2010 tentang Izin Usaha Toko Moderen, regulasi di Surabaya masih diperkuat dengan Perwali. Dalam Perwali itulah yang mengatur tentang jarak minimal antara minimarket yang satu dengan lainnya. Tetapi kenyataan dilapangan, dalam satu gang di perkampungan ada 2 sampai 3 minimarket dengan jarak yang tak lebih dari 100 meter.
Menurut Erick, walau sudah ada Perda dan Perwali, namun pembangunan minimarket itu jauh dari regulasi. “Seharusnya, untuk mengurus izin minimarket yang berupa cabang-cabang itu tetap dilakukan oleh induk minimarket-minimarket tersebut. Namun karena di Surabaya dianggap lemah dalam penegakan aturan, justru regulasi kota ini diinjak-injak dengan membangun minimarket tanpa izin dan asal buka saja tanpa melihat kanan kirinya,” jelas anggota dewan dari Partai Golkar ini, Jumat lalu.
Ini terbukti melanggar aturan atas penentuan jarak antar minimarket. Bahkan ada ratusan minimarket yang tak memiliki izin lengkap dan bersaing dengan jarak bersebelahan.“Dalam hal penegakan aturan ini, kami (Komisi A, red) akan mengundang dinas terkait seperti Satpol PP dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Surabaya untuk membicarakannya. Kami harus bereaksi atas hal ini. Dengan melanggar aturan itu, justru mematikan pedagang kecil dengan modal yang kecil,” tegas Erick.
Lucunya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengaku tidak mengetahui tentang Izin Usaha Toko Modern (IUTM). “Saya tidak tahu itu IUTM, tidak tahu mas,” ujar Risma saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu, lantas balik bertanya kepada wartawan mengenai IUTM.
Namun setelah diterangkan oleh wartawan bahwa IUTM adalah izin yang seharusnya dimiliki minimarket yang beroperasi di Surabaya, Risma mengatakan akan melakukan koordinasi dengan anak buahnya. “Nanti akan saya koordinasikan terlebih dahulu ya,” ujarnya.(red)