KORAN NUSANTARA
Headline indeks Lapsus

Pengelolaan Sampah Langgar UU 18/2008, AMAK Ancam Lakukan Gugatan Class Action

sampah-di-tpa-benowo-surabaya-qprSurabaya (KN) – Persoalan persampahan di Kota Surabaya sangat menyita perhatian publik, dikarenakan tidak adanya transparansi dari  PT. Sumber Organik (SO) selaku pemenang lelang sesuai nomor 510/13799/436.6.5/2011 tertanggal 22 Agustus 2011 senilai kurang lebih  Rp362 Miliar tersebut. Proyek tahun jamak (multiyears)  adalah  proyek pengolahan sampah menjadi gas dan listrik yang berlokasi di TPA Benowo, Surabaya.

Menyikapi persoalan pengelolaan sampah yang kini seru diperdebatkan itu, Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk melakukan gufatan Class Action terhadap permasalahan pengelolaan sampah yang dianggap sangat berpotensi merugikan uang negara tersebut.

Ketua LSM AMAK, Ponang Adji Handoko didampingi Ketua Dewan Penasehat Amak, I Wayan Titip Suaksana mengatakan, selain menggalang kekeuatan untuk melakukan gugatan Class Action, AMAK menolak keras adanya upaya meloloskan anggaran (APBD) Surabaya 2013 sebesar Rp 56.4 miliar untuk Tipping Fee pengelolaan sampah TPA Benowo.

Lebih lanjut Ponang mengatakan, dalam kerjasama pengelolaan sampah dengan PT Sumber Organik (SO) di TPA Benowo itu mungkin Pemkot lupa, sehingga ada aturan yang dilewati begitu saja. Yaitu upaya yang dilakukan pemkot dengan kerjasama itu, ternyata tak mengacu pada UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Kontrak kerjasama pengolahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan PT Sumber Organik (SO) itu cacat hukum. Sebab, Kontrak proyek pengelolaan sampah senilai investasi hampir setengah triyun itu tidak menjalankan perintah Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaaan Sampah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaaan sampah,” cetusnya.

Diamanatkan dalam UU tersebut, khususnya dibagian penutup, setiap ada pengelolaan sampah tersebut di suatu daerah, maka harus dilindungi dengan peraturan daerah. Padahal, Perda tentang Persampahan itu belum ada, Pemkot justru sudah berani melakukan kerjasama tersebut, bahka sudah mencairkan dana puluhan miliar untuk Tipping Fee pengelolaan sampah yang hingga saat belum ada hasilnya itu.

Dalam UU itu juga dijelaskan jika pelaksanaan di daerah untuk membuat Perdanya, paling lambat satu tahun setelah diundangkan dan paling lama, tiga tahun. Nyatanya sampai 2011 disaat memilih pepenang tender, Surabaya belum memiliki Perda tersebut.

Bahkan ada kabar menyebutkan, ternyata sudah sejak 2012, kerjasama pengelolaan sampah itu sudah dimulai dengan pemberian tipping fee ke PT SO. Tipping fee itu adalah biaya yang dikeluarkan pemkot selama memasukan sampah ke Benowo. Padahal, lokasi itu milik Pemkot dan pengelolaan sampah yang dikerjakan PT SO yang katanya akan membangun pabrik pengolahan sampah untuk dijadikan energi alternatif (listrik dan gas) juga belum berjalan.

Kabarnya, pada tahun itu, Pemkot sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp21 miliar tanpa dianggarkan dalam APBD, dan tahun 2013 ini juga sudah mencairkan dana untuk Tipping Fee sebesar Rp 31 miliar dari yang direbcanakan Rp 56,4 miliar.

Terkait UU 18/2008 yang tak diimbangi Pemkot dengan mengeluarkan Perda Persampahan, jelas sudah melanggar. Keharusan membuat Perda itu karena ada kerjasama yang dilakukan Pemkot melibatkan peran serta masyarakat. Ini bisa dilihat dari dilibatkannya investor yang merupakan peran serta masyarakat melalui lelang investasi. Dengan begitu, kerjasama pemkot-PT SO, tanpa aturan yang jelas.

Yang disayangkan, berdasarkan Permendagri 33/2010 tentang Pengelolaan Sampah, pengelola sampah yang bisa diberi izin oleh pemerintah daerah harus dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Pertanyaannya, apakah PT SO itu berbentuk BLU? Artinya, dengan BLU, seharusnya tidak swasta murni tetapi bentuknya mirip BUMD.

Terpisah anggota Komisi C DPRD Surabaya Reni Astuti yang getol menyoal kerjasama itu menegaskan jika Surabaya belum memiliki Perda Persampahan. “Seingat saya, itu masih berupa rencana karena dalam Program Legislasi Daerah, Raperda Persampahan baru diagendakan dibahas tahun ini. Saat ini yang dimiliki Pemkot Surabaya adalah Perda Retribusi Sampah,” tegas Reni kepada wartawan di DPRD Surabaya beberapa waktu lalu.

Reni mengungkapkan, pembayaran tipping fee yang dilakukan Pemkot Surabaya ke PT Sumber Organik (SO), investor TPA Benowo itu, mengacu keputusan Wakil Ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana yang memimpin rapat paripurna mendadak. Hal itu terkait kerjasama pengelolaan sampah di Benowo untuk dijadikan sumber listrik dan gas.

Surat itu yang menjadi acuan untuk mengeluarkan dana hibah tipping fee oleh Pemkot. Setiap tahunnya, dengan surat itu, tipping fee yang harus dibayarkan ke PT SO sebesar Rp56,4 miliar. Bahkan pada 2013 ini, pemkot juga sudah membayar hal itu ke PT SO sebesar Rp31 miliar dan sisanya akan dibayar akhir tahun ini. Keterangan sudah terbayarnya tipping fee tersebut terungkap saat Komisi C DPRD Surabaya menggelar hearing dengan Pemkot. “Kita mendapat laporan dari Dias terkait jika sudah ada pembayaran tipping fee ke PT SO sebesar Rp31 miliar. Padahal, sebelumnya, saat belum ada penganggaran di APBD Surabaya, Pemkot juga diam-diam sudah membayarkannya sebesar Rp21 miliar pada 2012,” ungkap Reni Astuti, anggota dewan asal PKS ini.

Reni juga menegaskan, hal ini sangat menarik, karena dewan kecolongan. Pasalnya, dewan sampai saat ini tak pernah tahu tentang bentuk perjanjian kerjasamanya, khususnya terkait adanya tipping fee. Dewan hanya tahu ada kerjasama pengelolaan sampah di TPA Benowo, kesannya sangat terpaksa untuk diterima anggota dewan. Yang lebih dahsyat, pembayaran tipping fee itu akan dilakukan selama 20 tahun kontrak kerjanya.

Hal ini sama saja investor tak perlu mengeluarkan uang, tapi seluruh pengerjaannya dibiayai APBD Surabaya. Tipping fee pertama saja dibayarkan saat PT SO belum melakukan pengelolaan sampah. Sejak 2012 sampai 2015 (target pabrik pengolahan sampah dibangun), pemkot harus membayar tipping fee atas masuknya sampah ke Benowo. Padahal sudah jelas jika lahan itu milik pemkot dan sampah yang ada sama sekali belum diolah PT SO, tapi PT SO sudah menerima pembayaran dari Pemkot.

“Pemkot tak pernah mau transparan, karena itu wajar jika tiap tahun saat pembahasan APBD, masalah ini selalu muncul. Pemkot hanya berlindung dibalik PP saja tanpa tahu detilnya. Pemkot hanya menggunakan kekuatan segelintir oknum di dewan, tanpa membahasnya secara global. Tanpa melalui pansus, tiba-tiba hal itu sudah disahkan lewat paripurna,” tegas Reni Astuti.  (red)

 

Ilustrasi-sampah-TPA Benowo

Related posts

Walikota Surabaya Kerahkan 60 Personel beserta 3 Alat Berat dan 5 Dump Truk untuk Bantu Bencana di Kota Batu

kornus

TNI Evakuasi Anggota TGPF dan Sertu Faisal Akbar Korban Penembakan KKSB Ke Jakarta

kornus

Rakerda Ke XVI, Sekjen Bagas Adhadirga Ajak HIPMI Jatim Dukung Percepatan Ekonomi Nasional

kornus