KORAN NUSANTARA
ekbis Hallo Nusantara Headline Nasional

Hari Perempuan Internasional 2022, Bebaskan Diskriminasi dan Stereotip Negatif terhadap Perempuan

Jakarta, mediakorannusantara.com  – Tema Break The Bias pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 memiliki makna bebas dari bias, stereotip negatif, dan juga diskriminasi. Karena keragaman adalah suatu keniscayaan, sehingga keragaman itu perlu dirayakan dan juga perlu dihargai terutama atas keberadaan perempuan.

Hal itu harus dilakukan di semua level, baik pada diri sendiri, di tempat kerja, di keluarga serta di manapun beraktivitas.

“Sehingga kita harus menciptakan situasi, kondisi yang bebas dari diskriminasi dan juga stereotip negatif,” ujar Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Alimatul Qibtiyah, dalam pernyataannya terkait peringatan Hari Perempuan Internasional 2022, Selasa (8/3/2022).

Alimatul mengungkapkan bahwa, jika dibandingkan dengan data 2021, terdapat peningkatan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

“Dilihat dari pengaduan komnas perempuan maka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang terjadi pada 2021 meningkat sekitar 80 persen. Sedangkan, jika berdasarkan badan peradilan agama (Badilag) maka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan meningkat sekitar 52 persen,” katanya.

Dari jumlah tersebut, jika berdasarkan data pengaduan dari komnas perempuan maka kekerasan psikis menempati posisi tertinggi (41 persen), kemudian kekerasan seksual (33 persen), kekerasan fisik (15 persen), dan angka terendah ada pada kekerasan ekonomi (10 persen).

“Akan tetapi, lain halnya jika berdasarkan data layanan, maka yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik (40 persen), disusul kekerasan seksual (26 persen), kekerasan psikis (21 persen), dan kekerasan ekonomi (13 persen). Jadi agak berbeda, kalau di Komnas Perempuan kekerasan psikis, tapi kalau dari 129 lembaga layanan adalah kekerasan fisik yang paling dominan,” ungkap Alimatul.

Sementara berdasarkan catatan tahunan 2022, maka diperoleh data bahwa angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang terkumpul sekitar 338.506. “Data itu, kita peroleh dari pengaduan komnas perempuan yaitu sekitar 3.838, lalu dari lembaga layanan sekitar 7.029, dan sisanya dari badan peradilan agama yaitu sekitar 327.639,” urainya.

Namun, Alimatul menjelaskan bahwa dari lembaga layanan yang kasusnya bisa diproses penyelesainya itu hanya sekitar 15 persen, dan 85 persen sisanya tidak teridentifikasi penyelesaiannya.

“Sementara komnas perempuan bukan lembaga layanan, sehingga tugasnya tidak menyelesaikan kasus, tetapi membantu penyelesaian kasus itu untuk kemudian dirujuk kepada lembaga-lembaga yang melayani kasus itu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Alimatul menuturkan bahwa hampir semua kasus kekerasan berbasis gender mengalami kekerasan psikis. Oleh karena itu, banyak korban yang mengalami kerentanan berlapis.

Seiring peningkatan kasus kekerasan berbasis gender, maka bisa dikatakan kenaikan angka laporan itu, mengindikasikan masyarakat sudah lebih aware dan berani speak up, ditambah berbagai kemudahan untuk melakukan pengaduan yang disediakan pemerintah.

“Mudah-mudahan dengan banyaknya media, dan lembaga, serta banyaknya masyarakat yang mengangkat isu tentang kekerasan seksual, ditambah juga adanya kemajuan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di parlemen mampu meningkatkan keberanian korban untuk melapor,” tuturnya.(wan/inf)

Related posts

Kemenkumham Paparkan 5 Misi penting KUHP Baru

Covid-19 Melandai, DPRD Jatim Berharap Kegiatan Bulan Suci Ramadhan Tak Dibatasi dan Tak Perlu Ada Pengetatan Mudik

kornus

Gubernur Tinjau Jembatan Ambrol Diterjang Banjir di Magetan

kornus