Surabaya (KN) – Belasan warga dari perwakilan sekitar 20 rumah yang bertempat tinggal di Komplek SMA Negeri 7 Surabaya Jl Ngaglik 27-29 Surabaya, Selasa (11/9) mengadu ke DPRD Surabaya. Pasalnya, mereka diberi deadline oleh Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya untuk segera mengosongkan rumah yang mereka tempati selama ini.
Salah satu perwakilan warga, Fiqih mengatakan, warga menempati rumah itu ada dasarnya, yakni surat keputusan (SK) dari Kepala Perwakilan Departeman Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Daerah Jatim, Noer Bambang, tertanggal 9 Nopember 1966. Dalam SK tersebut diterangkan, bahwa terhitung 1 Nopember 1966 lahan tersebut sebagai tempat tinggal Kepala Kantor Pengawasan dan Pendidikan Asing Jatim, R. L Soepomo dan keluarganya.
Fiqih mengungkapkan, dalam surat tersebut juga tidak ada embel-embel lagi. Misalnya, kelak di kemudian hari jika Soepomo meninggal harus pergi atau pindah dan sebagainya. “Jadi tak ada embel-embel kami harus pindah kalau Pak Soepomo wafat,” ujarnya.
Fiqih mengungkapkan, sejauh ini pihak SMAN 7 pernah mengajukan permohonan sampai tiga kali ke Departemen PDK minta gedung untuk sekolahan. Pasalnya, di sana ada dua bangunan, yakni untuk hunian (rumah) dan sekolah. Rumah-rumah itu tak bisa untuk kelas atau ruang belajar, sehingga diberikan kepada mantan atau pegawai-pegawai Departemen PDK . Namun di sisi lain, Departemen PDK juga memberikan gedung kepada SMAN 7. “Jadi oleh PDK dibagi, SMAN 7 itu dapat bagian belakang dengan pintu keluarnya lewat Jl Kapasari. Sedangkan warga tetap lewat Jl Ngaglik,” terangnya.
Namun di kemudian hari timbul persoalan. Warga yang berbaik hati dan memberi toleransi memberi pintu depan (Jl Ngaglik) untuk SMAN 7, dalam perjalananya, SMAN 7 yang berganti-ganti pimpinan, sehingga sikap pihak sekolah tersebut berubah. Dimana seolah warga yang menempati tanah SMAN 7.
“Padahal tidak. Karena kita (warga) dan SMAN 7 itu sama-sama minta lahan kepada Departemen PDK. Bahkan warga berkali-kali mendapat teror jika Satpol PP segera akan melakukan pembongkaran,” terangnya.
Soal status tanah iu sendiri, Fiqih mengaku tidak tahu. Warga tak permah diberitahu oleh Dindik Surabaya. Tapi yang jelas dalam SK PDK rumah ini disuruh menempati Soepomo dan keluarganya. Kendati demikian, warga dengan tegas menolak jika disuruh untuk mengosongkan rumah.
“Pengusiran terhadap kami itu terkesan mendadak. Kita tak pernah diajak rembugan (diskusi, red) . Karena itu, kita ingin ada hearing dengan Dindik Surabaya yang difasilitasi dewan,”tandasnya.
Menanggapi keluhan warga yang diberi surat peringatan oleh Dindik Surabaya, Ketua Komisi D DPRD Surabaya Baktiono menyatakan jika Dindik mau mengosongkan rumah warga harus ada dasar hukumnya. Kalau tidak punya dasar hukum, dirinya meminta Dindik jangan gegabah apalagi sampai menggunakan Satpol PP untuk menggusir.
“Satpol PP sebaiknya untuk merobohkan reklame atau tempat hiburan malam yang mokong, ketimbang mengusir warga tanpa solusi. Ya, saya lihat ini overlapp dari Dindik,” kata Baktiono.
Menurut Baktiono, kendati dikemudian hari diketahui bila lahan tersebut milik Pemerintah Kota, maka tidak semestinya Pemkot kemudian menelantarkan warga. Karena sudah semestinya Pemkot memberikan pesangon serta tempat tinggal yang layak. “Kepada anggota dewan yang ngurusi soal tanah (Komisi A) saya berharap bisa segera menuntaskan persoalan ini. Ya biar Komisi A yang memanggil mereka,” terangnya. (anto)