“Kami Cuma pencari berita bukan pembawa petaka” kata itulah yang sehari-hari kami jalani dalam menjalankan tugas profesi sebagai jurnalis. Dalam menjalankan profesinya sebagai penyambung lidah rakyat, pers ibarat sebuah lentera di kesenyapan, terang yang membawa harapan dan penyingkap tabir kebisuan. Tugas pers bisa diumpamakan lidah yang berbicara tentang fakta yang sebenarnya dan dituangkan dalam aksara yang sejujur-jujurnya. Jika para pegiat jurnalisme sungguh menyadari hal ini, maka demokrasi dalam dunia pers dapat diwujudkan. Argumentasinya jelas bahwa cita-cita tertinggi dalam demokrasi di bidang pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Ketika membicarakan demokrasi di dunia pers, pada satu sisi persoalan yang senantiasa dipergunjingkan adalah kebebasan pers yang biasanya dikonfrontasikan dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan.
Pada era ini, ketika kebebasan pers diagung-agungkan, ternyata masih ada juga realitas kekerasan terhadap wartawan, orang-orang yang sehari-hari bekerja menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Realitas kekerasan itu mengambil bentuk kekerasan fisik sebagaimana yang sering dialami oleh beberapa wartawan cetak maupun elektronik dalam menjalankan profesinya, dan hamper setiap tahun ada puluhan wartawan yang menjadi korban kekerasan. Kekerasan itu sebagian besar disebabkan dari pemberitaan, baik itu soal pengungkapan korupsi, penyimpangan, penyelewengan dan manipulasi.
Bentuk-bentuk kekerasan ini membuktikan, bahwa kebebasan insan pers sesungguhnya masih terkatung-katung. Kebebasan pers perlu dibicarakan lagi. Soalnya, dengan adanya kekerasan ini, kebebasan pers terpasung dan hal ini berimplikasi pada berbagai macam deviasi sosial yang tak terkontrolkan. Sebab, tindakan pemasungan terhadap kebebasan pers seperti intimidasi dan kekerasan bisa memberikan efek jera bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. Kekerasan terhadap wartawan di samping merupakan kejahatan (penganiayaan), juga menghambat terlaksananya reformasi dan melanggar HAM, karena kebebasan berkomunikasi adalah HAM.
Patut disayangkan apabila kekerasan yang dimaksud melibatkan mereka yang bekerja untuk pemerintahan, menegakkan hukum dan keadilan. Realitas kekerasan seperti ini telah menggugah bangsa ini untuk berpikir ulang tentang reformasi yang sudah (atau baru) berusia 10 tahun itu. Bahwa reformasi di Indonesia hanyalah reformasi simbolik, karena pers sebagai sebuah agent of reform pun masih mengalami ancaman dan kriminalisasi serta kekerasan. Bila kita amati, fenomen kekerasan terhadap wartawan menunjukkan dua hal penting. Pertama, orang yang tak sanggup melakukan apa yang dipercayai, akan cenderung percaya pada apa yang dilakukannya. Tindakan kekerasan terhadap wartawan yang sering terjadi karena pengungkapan fakta yang ditemukan, seperti korupsi, penyimpangan, penyelewengan dan manipulasi.
Apabila hukum yang melindungi insan pers tidak ditegakkan maka jangan heran ketika dalam waktu yang relatif berdekatan terjadi dua kasus kekerasan terhadap wartawan. Kedua, jalan kekerasan menunjukkan betapa rapuhnya sosialitas dan kokohnya individualitas pelaku kekerasan. Jalan kekerasan menegaskan sebuah penyangkalan terhadap eksistensi yang-lain dalam kehidupan sosial (dalam kasus ini para wartawan korban kekerasan dan pers sendiri). Bila setiap aksi kekerasan terhadap wartawan tidak ditangani secara tegas dan transparan serta tidak diusut tuntas, hal itu bisa berarti para penegak hukum, sekali lagi membuka peluang bagi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan sesudah kesekian kalinya aksi kekerasan terhadap wartawan terjadi. Entah kekerasan fisik, entah kekerasan non fisik, penekanan. Sebab, hakekat sebuah kekerasan adalah pelanggaran HAM, karena menyangkut kehidupan seorang manusia.***