Surabaya (KN) – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Pejuang Konservasi Kota Surabaya (MPKS), akhirnya berhasil dibentuk oleh Sejumlah elemen masyarakat. LSM tersebut akan memperjuangkan hak-hak rakyat wilayah Surabaya Timur dan masyarakat pemilik lahan yang terkena garis ruang terbuka hijau dari pemerintah kota Surabaya, yang dinilai tanpa melalui prosedur dan ganti rugi sesuai dengan kepemilikan haknya. LSM pejuang konservasi ini segera tancap gas untuk dan minta penundaan persetujuan Perda RTRW yang dinilai kepanjangan dari perda RTRW No.3 tahun 2007 yang ditengarai penyusunannya penuh dengan kepentingan sehingga mengabaikan hak-hak perdata masyarakat sepanjang pantai timur.
“Alhamdulillah akhirnya kita sepakat membentuk lembaga swadaya masyarakat dibidang perjuangan konservasi untuk membela hak-hak masyarakat yang secara semena-mena ditetapkan oleh tangan pejabat Pemkot Surabaya untuk konservasi. Bayangkan para pejabat Pemkot itu tidak pernah mikir kalau hak-hak dirinya para pejabat itu terkena, kan tidak mungkin mau. Tapi mengapa milik orang lain yang digaris supaya mati hak-haknya untuk mengolah dan mengembangkan kepemilikannya, ini kan tidak adil” kata Sekretaris Pejuang Konservasi Abdul Rosid kepada Koran Nusantara seusai penetapan pengurus Masyarakat Pejuang Konservasi, Minggu (21/7/2013) kemarin.
Latar belakang berdirinya LSM Pejuang Konservasi ini dilandasi oleh banyaknya persoalan pengetrapan tata ruang diatas tanah milik warga, tanpa terlebih dulu dilakukan penggantian sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku. Sementara lembaga wakil rakyat yang harusnya menyuarakan hati nurani rakyatnya, justru setelah berjas dan berdasi di gedung ber AC malah menjadi tukang stempelnya kedholiman aparat Pemkot.
Menurut Rosid ada fenomena ketidakadilan yang dipertontonkan kepada masyarakat Surabaya, khususnya masyarakat di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) secara mencolok. Misalnya, pembangunan tiga tower tinggi-tinggi dibibir pantai mendapatkan izin, sementara milik warga kecil ukuran 60 meter persegi tidak diberikan izin karena hanya digaris oleh konservasi dalam Perda 3 tahun 2007. Mengapa bisa timpang, apakah izin itu hanya milik orang kaya atau perusahaan besar saja. Sementara orang kecil yang lemah dan tidak berduit tidak boleh diberi izin ?. “Inilah atraksi yang dipertontonkan Pemkot Surabaya secara kasat mata menyolok didepan warganya, apakah ini adil ?”, tanyanya.
Pejabat Pemkot tersebut, selama ini selalu mengeluarkan slogan pro rakyat, melayani rakyat karena dibayar dengan uang rakyat tapi mana buktinya ?. Abdul Rosid mempersilahkan bagaimana arogansinya kantor pelayanan di UPTSA dalam menolak permohonan izin bangunan bagi masyarakat di kawasan Pantai Timur Surabaya dengan dalil yang sama. Tapi yang besar-besar selalu lolos terus dan sekarang sudah jadi atraksi bangunan tinggi dan serba mewah..
Tokoh pergerakan muda ini mengakui, kepemilikan tanah di kawasan timur tersebut berasal dari nenek moyang mereka dan sebagaian diantaranya dari pemberian hak dari hasil olahan tanah sporadic. Pertanyaannya, apakah Pemkot memiliki lahan dalam jumlah sangat luas tersebut, apakah juga dari hasil pembelian ?.
Kepemilikan Pemkot tersebut selalu dari hasil pengakuan tanah Negara, peninggalan barat, pemberian pegembang dan tanah-tanah yang tidak jelas kemudian dikapling-kapling dan setelah itu jadi model tanah sewa untuk penghasilan Pemkot, dan setelah itu ekstensifikasi lagi nyasar ke milik warga. Ketepatan sekarang nyasar milik warga Pamurbaya dan setelah kena dia yakin nantinya juga akan dikapling-kapling lagi seperti tanah-tanah Pemkot yang lainnya. Contoh nyata bekas tempat pembuangan sampah Keputih kini telah habis dan kebun bibit Wonorejo juga tinggal sebagian kecil.
Bongkar TPI dan Pusat Rekreasi
Selain bangunan swasta, bangunan milik pemerintah kota Surabaya juga dipertontonkan dipinggir Pantai Timur, misalnya Taman Hiburan pantai (THP) atau yang dikenal Taman Ria Kenjeran lama dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang belum lama diresmikan oleh Walikota Tri Rismaharini. Dia yakin bangunan yang berada digaris sempadan pantai tersebut belum mendapatkan izin dari Gubernur Jatim, artinya statusnya masih sama dengan bangunan milik warga miskin. Sayangnya yang milik warga miskin dikejar-kejar suruh bongkar tapi milik Pemkot sendiri dipertontonkan kepada warganya.
Kalau mau konsisten, Pemkot harus membongkar dulu bangunannya yang berada digaris sempadan pantai untuk memberi contoh warganya dan bukan mempertontonkan arogansinya. Ini pemerintah untuk rakyatnya atau untuk pejabatnya?‘
Untuk itu, rasa persamaan hak didepan hukum tersebut yang akan diperjuangkan oleh LSM Masyarakat Pejuang Konservasi demi menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hak-hak warga miskin di kawasan Pantai Timur. Yang patut dipertanyakan, kenapa baru. tahun 2007 diterapkan, padahal tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada suara apa-apa ?.
Perda tersebut, harusnya batal demi hukum sejak terbitnya peraturan yang lebih tinggi dan sejak awal tidak boleh diberlakukan kepada masyarakat karena tidak didukung dengan Perda zonasi atau Perda RDTRK dan Perda RTRK. Namun dengan membabi buta, Pemkot menyetop hak pengelolaan warga Pantai Timur. Untuk itu, persertjuan Perda revisi hendaknya ditangguhkan sampai ada penyelesaian dengan warga pemilik lahan di kawasan Pantai Timur, karena dalam revisi tersebut tetap memberlakukan konservasi di Pantai Timur yang justru jaraknya dua kilometer lebih dari bibir pantai dan bukan hanya di garis sempadan pantai sekitar 100 meter dari air pasang.
Harusnya. Pemkot Surabaya meneruskan peta RTRW Kabupaten. Sidoarjo yang menjadi tetangganya Surabaya dan bukan membelokkan ketengah kota konservasinya. Peta RTRW Sidoarjo berdasarkan Perda RTRW, hanya 100 meter dari air pasang dinyatakan sebagai daerah konservasi. Inilah perlu ada persamaan hukum sebagai warga Negara Indonesia untuk bisa mengelola hak-hak pertanian, perumahan dan pendapatan dari tanah miliknya dan tidak diberangus untuk kepentingan pejabatnya. (red)
Foto : THP Kenjeran