Jakarta , mediakorannusantara.com – – Indonesia dinilai bisa menjadi produsen utama komponen baterai dan kendaraan listrik di kawasan Asia Tenggara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan ke depan, kendaraan listrik atau electric vehicles (EV) bakal mendominasi pasar moda transportasi.
“Indonesia diharapkan dapat menjadi pemain utama untuk manufaktur baterai dan produsen EV di Asia Tenggara dan tidak hanya sekadar menjadi perpanjangan pasar,” katanya dalam diskusi virtual bertajuk “Develoment of Green Mobility in the Region” yang digelar MOVE EV, Rabu.10/3
Selain Satya, forum internasional itu juga menghadirkan pembicara Sharulnizam Sarip (CTO Malaysian Automotive, Robotics, and IoT Institute), Win Gatchalian (Senator dan Kepala Senat Komisi Energi dan Ekonomi Luar Filipina), dan Chanin Kaochan (Deputi Sekjen Board of Invesment Thailand), dengan moderator Thomas Hansmann.
Menurut Satya, baterai merupakan salah satu komponen terpenting dalam pengembangan EV.
Indonesia, lanjutnya, bisa menjadi pemain utama baterai kendaraan listrik karena memiliki cadangan nikel dan kobalt sulfat sebagai bahan baku baterai, yang cukup besar.
Namun, ia berpendapat dibutuhkan kerja sama yang intensif dari BUMN dan perusahaan tambang guna mewujudkan hal tersebut.
Pada diskusi tersebut, Satya juga memaparkan bahwa EV sangat linear dengan kebijakan Pemerintah Indonesia terkait Ratifikasi Perjanjian Paris yaitu mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional hingga 2030.
Selain juga linear dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama poin nomor tujuh.
Menurut dia, Indonesia merupakan salah satu negara pengguna kendaraan roda dua terbesar yang menghasilkan banyak emisi karbon, sehingga adanya kendaraan listrik merupakan salah satu solusi mengatasi emisi karbon tersebut.
Pada 2025, Indonesia menargetkan mampu memproduksi 2,1 juta sepeda motor listrik.
Peran sektor swasta di Indonesia, lanjutnya, juga penting dalam mengakselerasi pengembangan EV.
Satya menambahkan salah satu kendala pengembangan EV, yaitu mengenai harga.
Kebanyakan pengguna kendaraan roda dua, merupakan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sehingga cukup sulit membeli motor listrik, yang harganya relatif mahal.
Maka dari itu, menurut dia, perlu adanya kebijakan yang bisa membuat harganya menjadi lebih kompetitif, misalnya melalui pemberian insentif fiskal maupun nonfiskal.
Satya juga mengatakan kolaborasi dan koordinasi dari swasta dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara menjadi hal yang penting, dalam upaya percepatan pengembangan EV.
“Perlu diingat bahwa manufaktur baterai dan EV perlu mencapai skala tertentu agar menjadi ekonomis,” ujarnya.
Pada fase awal pengembangannya, akan menjadi tantangan tersendiri, sehingga, menurut Satya, diperlukan kolaborasi antarpemangku kepentingan di regional Asia Tenggara.(wan/an)