Jakarta (KN) – UU Pemerintah Daerah dinilai masih banyak kelemahannya sehingga perlu disempurnakan. Revisi UU Pemda nanti akan mengatur sanksi tegas berupa pemberhentian Kepala Daerah jika melakukan pelanggaran hukum. “Selama ini kerap Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum dan menjalani hukuman, tetapi sanksi terkait jabatannya tidak ada kejelasan,” ungkap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dalam sambutannya pada Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (Munas APPSI) ke-IV di Gedung Ghradhika Bhakti Pradja, Kompleks Gubernuran Semarang, pekan lalu.
Mendagri menjelaskan, revisi UU Pemda akan memasukan pemberian sanksi yang lebih tegas lagi kepada pimpinan daerah. Dalam UU sekarang, hampir tidak ada sanksi sama sekali.Padahal tidak mungkin sebuah undang-undang tidak memiliki sanksi. ”Perlu dibuat (sanksi), Kepala Daerah yang melakukan pelanggaran hukum perlu diberhentikan. Di Pasal 32 ada (yang mengatur) tapi PP (Peraturan Pemerintah) tidak lahir, itu aman-aman saja karena PP tidak kunjung dilahirkan,” ujar Mendagri.
Dia menambahkan,presiden sudah menyampaikan kepada dirinya,supaya dipastikan kalau ada pelanggaran serius harus dibuat sanksi di dalam revisi UU tersebut.Gamawan mengakui, regulasi itu dalam perjalanannya belum mampu menjawab dinamika pemerintahan. Presiden pernah menanyakan kepada Mendagri kalau ada kepala daerah di Jakarta tiga pekan.Kemudian pulang ke daerah sepekan. Lalu kembali ke Jakarta sebulan,dan cuma sepekan di daerahnya.
”Bagaimana sikap kita, kita tanya ke DPR. DPR tidak mempermasalakan, ya tidak apa-apa. Bisa tidak Presiden mengambil tindakan?”katanya. Persoalan lainnya, ungkap dia,seorang Kepala Daerah dijatuhi hukuman tiga tahun, tinggal dua tahun jabatannya. Padahal yang bersangkutan sempat dirugikan karena menjadi terdakwa, lalu apa ditambah dua tahun masa jabatannya. Kemudian, Gamawan Fauzi, Kepala Daerah di-nonaktifkan menjadi Kepala Daerah ketika akan dilantik setelah menjadi terdakwa. Gamawan belum bisa menjawab persoalan ini karena tidak diatur dalam regulasi.
”Bagaimana menonatifkan kalau dia tidak mau dilantik, dan meminta agar proses hukum berjalan. Apakah pemerintah ini berhenti selama lima tahun,” tandasnya.
Mendagri tidak sependapat jika ada pakar yang mengatakan otonomi daerah gagal. Di sisi lain, undang-undang tersebut juga berimplikasi pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi di daerah. ”Ada daerah yang pertumbuhan ekonominya 7%–8%,” tambahnya.
Penyelenggaraan pemerintah yang efektif dari sentralistik ke desentralisasi jelas memerlukan waktu. Karena itu diperlukan perbaikan regulasi. Gubernur Jateng Bibit Waluyo mengamini pendapat Mendagri. Menurut dia, UU Pemda tidak tegas dan tidak mengikat. Sehingga berimplikasi kepada proses pembangunan. (red)