KORAN NUSANTARA
Headline indeks Lapsus

Perjanjian Kerjasama BOT Pasar Turi Diduga Cacat Hukum

bangunan-pasar turiNasib proyek vitalisasi pasar Turi Surabaya milik Pemkot, ternyata tidak terlalu jauh dengan proyek revitalisasi pasar Tambahrejo yang dikelola oleh PD Pasar Surabaya. Bedanya pedagang Pasar Tambahrejo tidak terlalu banyak dirugikan, sementara pedagang pasar Turi berhasil dijadikan “sapi perahan” karena bangunan belum ada sudah harus mengangsur pembelian stand dengan harga pasar modern, sementara pedagang Pasar Tambahrejo bangunan jadi baru mengangsur dengan harga stand pasar tradisional.

Surabaya (KN) – Kecanggihan Walikota Surabaya dalam menata pedagang pasar, ternyata masih kalah dengan kecanggihan Direksi PD Pasar dalam merevitalisasi Pasar Tambahrejo pada saat itu, padahal kedua pasar tradisional yang dijadikan pasar modern tersebut sama-sama dibangunan oleh kontraktor yang sama dan sama-sama pula tidak tuntas pembangunan yaitu PT Pembangunan Perumahan dan sama-sama belum ada perbankan yang bersedia mengkaver kredit pedagang tanpa agunannya. Namun jadwal pembangunannya di Pasar Tambahrejo tepat sesuai schedule, sedangkan pembangunan Pasar Turi berlarut-larut hingga saat ini.

Dibanding dengan Walikota, direksi PD Pasar mampu menekan pelaksanaan pembangunan yang diperuntukkan untuk pedagang lama (existing) sesuai jadwal yang ditentukan, meskipun belum dilakukan Topping Of. Direksi PD Pasar dalam pembangunan Pasar Tambahrejo saat itu juga mampu menekan investor agar tidak membayar uang muka sebelum pasar yang baru ditempati. Sementara Walikota hanya berdiam menyaksikan “penekanan” terhadap pedagang agar segera membayar angsuran stand dan ancaman dicoret dari daftar pedagang apabila tidak segera melakukan angsuran.

Untuk undian stand saja pedagang pasar Turi ditempatkan di tempat khusus diluar lokasi Pasar Turi maupun instansi Pemkot, sedangkan pengundian stand Pasar Tambahrejo di dilakukan di lokasi pasar sehingga tampak familier investornya, “kata mantan pegawai PD Pasar yang enggan disebutkan namanya.

Lebih lanjut, agar proyek Pasar Tambahrejo tidak terbengkalai direksi PD Pasar pada saat itu juga bertindak cepat agar Kontraktor PT PP bersedia mengambil alih sebagai investornya, meskipun akhirnya stand-stand yang dibangun kesulitan mencari pembeli stand sebagai pedagang baru, akan tetapi urusan dengan pedagang existing telah selesai dan tidak bermasalah seperti Pasar Turi.

Batal demi hukum

Pemkot Surabaya agar tidak rugi dan Walikota tidak malu dengan anak buahnya di PD Pasar, sekarang ini melalui bantuan kejari Surabaya sebagai jaksa pengacara negara, tengah melakukan penelitian, setelah BPKP melakukan audit perjanjian. Penelitian oleh kejaksaan tersebut untuk menentukan apakah Pemkot akan melakukan pemutusan kontrak dengan Investor Pasar Turi ataukah dibawa ke ranah hukum apabila sampai dead line 14 Oktober nanti Investor tidak mampu menyelesaikan pembangunannya.

Langkah Walikota tersebut sebenarnya merupakan langkah yang terlambat setelah membiarkan masalah pelaksanaan pembangunan kembali Pasar Turi berlarut-larut dan pedagang lari kesana-kemari mencari perlindungan, baik secara politis maupun secara hukum yang menghasilkan semuanya dengan nilai “nihil” karena faktor kekuatan para pihak yang lebih besar.

Padahal perjanjian antara Pemkot dengan Investor pasar Turi tersebut, seharusnya tanpa harus menunggu 14 Oktober telah batal demi hukum karena pertama; obyek yang diperjanjikan belum memiliki sertifikat setelah sertifikat induknya digugat oleh PT Kereta Api (PT KAI) dan pihak Pemkot berada dalam pihak yang salah, akan tetapi belum dilakukan eksekusi atas pemecahan sertifikat tersebut oleh instansi eksekutor, sehingga perjanjiannya telah batal demi hukum.

Kedua; penunjukan pemenang lelang pasar Turi dilakukan tanpa ada persetujuan dari DPRD Surabaya sebagaimana diatur dalam UU 32 tentang Pemda dari Permendagri 22 tentang kerjasama pemmerintah dengan pihak ketiga dalam rangka pembangunan aset daerah yang menyangkut banyak orang. Ketiga; perjanjian antara Pemkot dengan Investor Joint Operation (JO) patut diduga merupakan perjanjian dengan non badan hukum, sehingga patut diduga telah melanggar hukum.

Keempat; metode penghitungan kontribusi atas pelaksanaan Built Operation Transfer (BOT) patut diduga tidak menggunakan patokan NJOP dan komparasi Tim Penilai Aset dari Badan Hukum Independen, sehingga nilai kontribusi yang diperoleh Pemkot atas kerjasama BOT  terlampau kecil, bahkan sangat jauh nilainya dibanding penyewaan gedung Siola yang luasnya hanya 6000 m2, dengan nilai Rp 4 milyar, sedangkan Pasar Turi seluas 27.000 m2, dengan nilai hanya Rp 400 juta – Rp 3 milyar per tahun.

Kelima; dalam revitalisasi Pasar Turi tersebut Pemkot telah mengeluarkan dana APBD sekitar Rp 13 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 18,8 miliar untuk pembangunan tempat penampungan sementara (TPS) pedagang yang terbengkalai sejak dibangun. Padahal dalam PP 6 tahun 2006 dan Permendagri 17 tahun 2007 tentang pengelolaan barang milik daerah yang mengatur Kerjasama Pemanfatan Aset (KPA ) – Built Operation Transfer (BOT), semua beban akibat KPS BOT itu menjadi tanggungan pihak kedua (investor) dan bukan pihak pertama (Pemkot). Sehingga KPS BOT pasar Turi tersebut patut diduga bertentangan dengan peraturan perundangan, sehingga merugikan Pemkot maupun pedagang.  (red)

 

Related posts

Senam Bareng Ratusan Kepala SMP Surabaya, Wali Kota Eri Hapus Sekat Sekolah Negeri dan Swasta

kornus

KPK Resmi Tetapkan Sutan Bhatoegana Sebagai Tersangka Kasus Gratifikasi RAPBN 2013

kornus

Mogok Produksi Pengrajin Tahu dan Tempe se-Jabodetabek Berakhir Minggu