Surabaya (KN) – Upaya agar Badan Pertanahan Nasional (BPN ) pusat segera mencabut sertifikat Pulau Galang yang dimiliki oleh tiga orang pengusaha. Panitia Khusus (Pansus) Komisi A D DPRD Jawa Timur akan mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat di Jakarta. “Dengan adanya pertemuan dengan Komisi A dan BPN pusat diharapkan BPN Pusat merekom pada BPN daerah untuk segera mencabut sertifikat Pulau Galang,” tegas Anggota Komisi A DPRD Jatim, Fauzi Faried di DPRD Jatim, Rabu (13/11/2013).
Dikatakannya, surat permintaan bertemu dengan BPN Pusat telah dikirim. Dirinya berharap Jumat depan bisa diagendakan untuk pertemuan tersebut karena ini menyangkut persoalan penting soal Pulau Galang.
“Kita sudah lama mendesak BPN daerah untuk mencabut sertifikat pulau itu, tapi hingga kini tidak ada tindakan tegas,” tutur politisi Asal Fraksi Gerindra Jatim, Lebih lanjut, pihaknya akan membeberkan pada BPN Pusat terkait berbagai kejanggalan dalam pengurusan sertifikat pulau itu. Diharapkan, dengan fakta-fakta kejanggalan itu BPN bisa mengambil sikap untuk segera mencabut sertifikat yang telah dikeluarkan sejak 1978 lalu.
Faried mengungapkan beberapa kejanggalan yang akan dibeberkan tersebut di antaranya soal proses pengajuan sertifikat oleh tujuh warga terhadap pulau yang ada di dekat teluk Lamong itu.
“Kok bisa tiba-tiba tujuh warga itu punya masing-masing dua hektar, lalu buat permohonan. Dan lebih aneh lagi, satu tahun kemudkian, semua lahan itu dijual. Kok bisa?,”paparnya.
Menurutnya, secara kronologi pada tahun 1978, status tanah tersebut dulunya milik tujuh tokoh desa Karang Kering atas nama Yahya, Mas’ud, Oyek, Kasbu, Daji, Wahyudin, dan Amari Untung.
Mereka pada 30 Juli 1987 mengajukan surat permohonan perubahan status tanah dari Tanah Negara (TN) seluas 14 hektar, menjadi Hak Milik (HM) melalui surat keterangan Kepala Desa Karang Kiring dan Camat Kepala Wilayah Kecamatan Kebomas. Sesuai data, surat keterangan pendaftaran tanah pada 15 Agustus 1987, sedang risalah pemeriksaan tanah tertanggal 2 September 1987.
Permohonan ketujuh warga dikabulkan dengan surat keputusan atas nama Gubernur Jatim Direktorat Agraria nomor 593.21/928/SK/320/1987 tertanggal 20 Oktober 1987. SK tersebut ditanda tangani Kepala Direktorat Agraria Ir Imam Maksum. Tapi satu tahu berikutnya, tanah tersebut dijual pada Darawati, Poenta Surya, dan Oentari Suryo melalui PPAT Justicia Soetandio, SH. Akte jual beli tertanggal 31 Maret 1988.
Dan keluar SHM (Sertifikat Hak Milik) bulan April 1988. Kepemilikan lahan tersebut, tambah dia, kemudian dilebur menjadi satu dengan sertifikat yang dikeluarkan kantor Agraria Provinsi (BPN saat itu) dari Nomor M.44 menjadi M.71, M.45 menjadi M.72, dan M.46 menjadi M.72.
Kepemilikan sertifikat tersebut kini diwariskan kepada Tri Hanggono. “Dari sisi proses ini saja, sudah terlihat adanya kejanggalan,”ujarnya. (rif)