Surabaya (KN) – Angan-angan pedagang pasar turi untuk bisa menikmati bangunan pasar yang baru diperkirakan semakin hari semakin jauh, kecuali investor yang ditunjuk sebagai pemenang lelang mau secara sukarela mengundurakan diri. Karena apabila tidak, nasib pembangunan pasar turi akan stagnan, tidak maju dan tidak mundur atau pedagang akan terus mengalami nasib “digantung” dalam kurun waktu yang tidak jelas, artinya bisa dua tahun, tiga tahun, lima tahun dan bahkan lebih dari sepuluh tahun, tergantung kemauan baik pemenang lelang.Ini terjadi mungkin akibat salah langkah yang dilakukan oleh mantan Walikota Surabaya dalam menangani pembangunan kembali Pasar Turi pasca kebakaran tahun 2007 lalu. Kesalahan yang paling fatal dimulai dari proses lelang pembangunan kembali Pasar Turi yang menggunakan system lelang yang dibiayai oleh dana APBD/APBN (Kepres 80 tahun 2003), padahal pelaksanaannya dilapangan adalah bentuk kerjasama Built Operate Transfer (BOT) yang harus ada persetujuan dari DPRD Surabaya, ada perjanjian yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, dicatatkan di Notaris dan yang paling fital harus telah ada sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) milik Pemkot Surabaya. Padahal sertifikatnya telah dibatalkan oleh Pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum.
“Jadi nasib pedagang Pasar Turi diperkirakan akan lebih jelek dibanding pedagang Pasar Wonokromo yang sepuluh tahun harus menderita di penampungan, kemudian baru ada pembangunan. Kalau Pasar Wonokromo jelas, karena belum ada yang melirik investasinya dan baru sepuluh tahun ada yang mau, tapi Pasar Turi lebih buruk karena telah ada pemenangnya tapi ditengarai menyalahi hukum dan pemenangnya pasti tidak mau ngalah. Jadi makin buruk lagi”, kata staf Walikota Surabaya beberapa waktu lalu kepada Koran Nusantara mengomentari stagnannya pembangunan Pasar Turi.
Informasi di Dinas teknis menyebutkan, hingga saat ini rencana pembangunan Pasar Turi tersebut ditengarai belum ada reaksi dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Staf yang berkompeten maupun Investor pemenang lelang untuk membuat perjanjian kerjasama Built Operet Transfer (BOT), yang didahului dengan permintaan persetujuan ke DPRD Surabaya, sehingga secara otomatis masih jauh dari realita pembangunanya.
Anehnya, para anggota DPRD Surabaya juga pasif dan cenderung membenarkan proses lelang yang melawan hukum tersebut. “Ini kan konyol sekali, di Pemkot tidak mau mengakui kekeliruannya, sedang di DPRD anggotanya banyak yang membenarkan seakan investornya seperti sudah paling benar,” kata pedagang mengeluhkan nasibnya sampai kapan akan dientas dari nasib yang menggantung itu.
Informasi yang berkembang di lingkungan Pemkot Surabaya menyebutkan, hingga saat ini yang dilakukan oleh Pemkot baru setaraf melihat gambar desain dari pihak Investor. Namun tidak bisa berbuat apa-apa karena gambar tersebut diberikan ke Dinas Teknis tidak dalam bentuk untuk pemrosesan rencana pembangunan, dan tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai aturan yang berlaku di Pemkot. “Kami ini bingung, karena tiap hari disuruh mroses gambar oleh Tim lelang Pasar Turi, tapi disisi lain mana persyaratanya tidak dilampirkan,” tuturnya dengan nada mengeluh.
Hingga saat ini, di UPTSA juga menyebutkan bahwa belum pernah menerima permohonan SKRK (Surat Keterangan Rencana Kota) baik dari Investor Pasar Turi maupun Pemkot selaku pemrakarasa. “Barangkali karena belum ada perjanjiannya itu sehingga belum bisa diajukan SKRK-nya, apalagi belum ada persetujuan dari DRPD dan tanahnya juga masih belum bersertifikat”, kata staf UPTSA di Jl Menur, Surabaya.
Ditambahkanya, pihaknya pasti akan mengembalikan permohonan apabila semua persyaratan yang dituangkan dalam Perda tidak dipenuhi, karena tidak ada dalam perbedaan antara pemohon pembangunan Pasar Turi dengan pemohon lainnya, sehingga harus berlaku sama. Pihak UPTSA juga siap menanggung resiko apabila ada penekanan dari pihak manapun, termasuk atasan manakala persyaratan dalam Perda tersebut dilanggar, karena pelanggaran Perda sebagai awal dari perbuatan melawan hukum dan apabila dituruti maka ancaman pidana siap menjeratnya. “Kami tidak mau itu terjadi apalagi sampai ada yang melaporkan kami ke polisi jika permohonan yang tanpa melalui ketentuan yang dipersyaratkan kami turuti,” ujarnya.
Sementara informasi di Pemkot, hingga saat ini panitia leiang baru memberikan surat penujukan pemenang lelang saja, namun anehnya dengan surat itu Tim Panitia sudah seakan investor dibolehkan memulai melaksanakan pembangunan. Bahkan dengan berbagai tekanan ke sesama dinas terkait di Pemkot Surabaya dilakukan oleh pantia lelang tanpa mengindahkan prosedur, sehingga seakan Pasar Turi itu milik panitia dan bukan milik Pemerintah Kota yang ada Walikotanya.
Ironosnya, berkali-kali panitia memerintahkan pemenang lelang untuk segera melakukan pembangunan dan Walikota diapaksa untuk menyerahkan tanah Pasar Turi seluas 28.000 meter persegi kepada investor tanpa melalui mekanisme yang diatur oleh PP 38 tahun 2008 dan Permendagri 22 tahun 2009. Kesannya di Pemkot saat ini sepertinya Walikota Tri Rismaharini dibawah tekanan Tim Lelang bentukan Walikota sebelumnya. (red)