Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Profesor Hamzah Fansuri, Dekan Fakultas Sains dan Analitika Data Institut Tehnologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, bahwa disinfektan yang digunakan pada bilik sterilisasi maupun disemprotkan ke sejumlah fasilitas umum di Kota Surabaya, aman. Karena, penggunaan Benzalkonium Chlorida, bahan yang digunakan untuk penyemprotan dalam dosis atau takaran yang tepat. “Pada konsentrasi sesuai takaran aman digunakan. Asalkan, tidak berlebihan,” jelas Hamzah Fansuri, Sabtu (4/4/2020).
Hamzah mengakui, bahan kimia yang digunakan untuk disinfektan bisa mematikan bakteri, merusak virus dan sebagainya. Untuk disinfektan yang disemprotkan di area terbuka, karena digunakan untuk benda mati. Maka, jika diperlukan konsentrasinya bisa lebih besar supaya efek mematikannya tinggi.
“Misalnya, untuk mengepel, menggunakan karbol, lisol yang anti bakteri, kalau konsentrasinya tinggi gak apa-apa. Tapi, jangan lupa memakai sarung tangan, atau APD (Alat Pelindung Diri) agar tak kena kulit,” tuturnya.
Sementara, untuk disinfektan yang disemprotkan di dalam bilik, konsentrasinya tak boleh tinggi. Kalau terlalu tinggi, memang bisa membunuh virus, tapi juga bisa merusak tubuh. Apabila terkena kulit, sel kulit masih bisa regenerasi. Namun, tidak boleh kena kelenjar Mukosa pada hidung dan mulut. Sebab, kelenjar ini tak memiliki perlindungan sebagus kulit.
“Kalau di dalam chamber (Bilik Disinfektan) yang aman, tutup mata dan tahan nafas. Gak lama hanya beberapa detik. Saya rasa aman, karena cairan yang dipakai konsentrasinya bisa ditolerir, tidak menyebabkan dampak jangka pendek dan jangka panjang,” urainya.
Pemerintah Kota Surabaya memasang Bilik Sterilisasi sedikitnya 239 unit di sejumlah kawasan. Sedangkan, jumlah wastafel yang terpasang kurang lebih 794 unit. Wastafel dipasang di sekitar bilik disinfektan. Upaya ini dilakukan adalah untuk menghilangkan kuman atau bakteri maupun virus yang mungkin menempel di tubuh.
Meski, pemerintah kota berupaya mencegah penyebaran Covid-19 dengan melakukan penyemprotan dan memasang bilik dan wastafel di berbagai tempat. Tetapi, sebagian masyarakat ada yang berinovasi membuat disinfektan secara mandiri dengan mencampur berbagai disinfentan.
Menurut, Hamzah Fansuri, hal ini tidak diperbolehkan. Karena, banyak disinfektan yang tak kompatibel atau sesuai jika dicampur dengan disinfektan lainnya.
“Malah bisa menghasilkan produk yang berbahaya. Hasilnya bisa salah. Sifat disinfektan bisa hilang , dan menghasilkan produk yang berbahaya.,” tegasnya.
Guru Besar Fakultas Sains dan Analitika Data ITS ini mengimbau kepada masyarakat untuk tidak berinovasi dalam membuat disinfektan secara mandiri. Paasalnya, untuk membuat disinfektan harus memperhatikan bahan, kualitas dan konsentrasinya.
“Kalau gak terlalu paham minta saran dari yang mengerti ilmu kimia, farmasi atau teknik kimia,” katanya. (KN03)