Kepala Disbudpar Jatim, Hudiyono
Sidoarjo (mediakorannusantara.com) – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim, menggelar Seminar Hasil Kajian Koleksi Museum Batik Sidoarjo 2023, di UPT Museum Mpu Tantular, Kamis (21/9/2023).
Kepala Disbudpar Jatim, Hudiyono dalam sambutannya mengatakan, tahun 2009 unesco menetapkan batik sebagai warisan dan budaya asli Indonesia, sehingga batik merupakan satu diantara warisan budaya yang perlu dilestarikan masyarakat dan generasi masa kini. hal ini menjadikan semakin berkembangnya batik diseluruh nusantara.
Tumbuhnya UKM pengrajin batik terus meningkat, para desainer mulai melirik batik sebagai salah satu pilihan dalam memperkaya karya seni membatik.
“Sudah seharusnya kita terus menggiatkan dunia perbatikan dengan berbagai pernak perniknya seperti peningkatan kualitas, ketelitian pengerjaan, pengayaan desain/motif serta mengedukasi masyarakat tentang batik secara benar. sehingga batik tidak hanya berhenti pada makna tradisi saja namun harus mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman serta tehnologi terkini,” katanya.
Menurutnya, di Museum Mpu Tantular tersimpan koleksi batik tulis dari kab/kota jawa timur sekitar 300 lembar kain batik yang memiliki motif dan corak yang berbeda-beda yaitu batik sidoarjo, tuban, lamongan, gresik, madura, situbondo, banyuwangi, pacitan, trenggalek, tulungagung, mojokerto dan lainya.
Khusus batik Sidoarjo yang telah dikaji oleh tim ahli memiliki 11 motif diantaranya : motif rawan engkok, tumpal liris, tiga penjuru, mahkota, sri menanjung, sekar jagad, layar putih, udeng, kuda lumping, dan pagi sore.
Berdasarkan laporan penelitian terapan hibah Dikti oleh Dr, Muslichah Emma Widiana (Universitas Bhayangkara Surabaya), Sra Kusni Hidayati, M. Si (Universitas Bhayangkara Surabaya) dan Karsam, S.Pd, MA., Ph. D (Universitas Dinamika) yang berjudul Model Pembelajaran Pengrajin Batik Melalui Pendekatan Standarisari Berbasis Teknologi Informasi Untuk Meningkatkan Daya Saing Revolusi Industri 4.0.
Sejarah Batik Tulis Tradisional di Kabupaten Sidoarjo berpusat di Jetis yang sudah ada sejak tahun 1675. Batik ini mula-mula diajarkan oleh Mbah Mulyadi yang konon merupakan keturunan Raja Kediri yang lari Ke Sidoarjo.
Mulai masuk tahun 1950-an usaha Batik Jetis ini didirikan lagi oleh seorang wanita yang bernama Widiarsih (Bu Wida) dan banyak masyarakat kampung Jetis waktu itu masih menjadi pekerjanya. Usaha batik Tulis Widiarsih pada waktu itu telah menjadi perusahaan terbesar di kampung Jetis, sekaligus banyak yang mengakui kalau bisnisnya menjadi bisnis batik tertua di Kampung Jetis. Tahun 1970-an para mantan pekerja Widiarsih akhirnya memberanikan diri untuk membuat serta membuka bisnis batik tulis sendiri dirumahnya, yang akhirnya menjadi usaha masyarakat rumahan batik jetis tulis ini.
Dari sinilah usaha batik mulai menjadi usaha rumahan masyarakat Jetis. Usaha tersebut kemudian juga menjadi mata pencaharian utama mereka selama bertahun-tahun hingga sekarang. Sejak tahun 1975 Batik Jetis terkenal sebagai batik yang memiliki ciri khas warna berani seperti merah, kuning, hijau dan biru. Berbeda denga batik Solo dan Yogyakarta yang berwarna coklat atau sogan.
Kampung Batik Jetis adalah salah satu kampung yang memiliki warisan budaya membatik. Di dalam kampung Jetis tersebar rumah para perajin batik yang merupakan salah satu sentra batik terbesar di Sidoarjo. Di kampug ini akan ditemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur colonial yang cukup menarik denga jendela besar dan jeruji besi yang antik. Dapat kita bayangkan pada masa jayanya daerah ini cukup ramai dan banyak terdapat rumah para juragan batik beserta perajinya menempati daerah tersebut.
Sementara itu Karsam, M. A., Ph. D. pemateri pada kegiatan itu mengemukakan, seiring dengan perkembangan penduduk, serta kian ramainya perdagangan di Pasar Jetis, kawasan ini banyak didatangi para pedagang dari luar daerah. Pedagang asal Madura yang semakin banyak berdagang di Pasar Jetis sangat menyukai batik tulis buatan warga Jetis. (KN04)