KORAN NUSANTARA
Headline indeks Lapsus

Dibalik Keberhasilan Pemkot Tutup Lokalisasi, Prostitusi Terselubung Marak

Surabaya (KN) – Selama 2014 ini, salah satu peristiwa yang patut jadi catatan penting di Surabaya adalah keberhasilan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak. Lokalisasi yang fenomenal dan pernah menyandang sebagai tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara ini, penutupannya sudah diskenariokan sejak beberapa tahun lalu. Penutupan itu tidaklah seperti membalikan telapak tangan dengan mudah. Pro dan kontra pun bermunculan. Perlawanan masyarakat harus dihadapi pemerintah kota (Pemkot).Namun berkat upaya dan tekad yang bulat, serta adanya dukungan dari tokoh masyarakat, alim ulama atau tokoh agama, pihak yudikatif, eksekutif dan legislatif serta masyarakat Surabaya sendiri, maka pada 18 Juni 2014, dua lokalisasi Dolly dan Jarak, resmi ditutup. Dalam kurun 2012-2014, sebenarnya sudah ada beberapa lokalisasi yang berhasil ditutup Pemkot Surabaya.

Sebut saja lokalisasi Dupak Bangunsari, Tambakasri yang berada di kawasan Surabaya Utara serta lokalisasi Sememi dan Klakah Rejo yang ada di kawasan Surabaya Barat. Selanjutnya untuk menyiapkan dua lokalisasi besar, Dolly dan Jarak, Pemkot Surabaya menyiapkan berbagai strategi. Pelatihan keterampilan untuk para pemilik wisma atau mucikari dan pekerja seks komersial disiapkan agar setelah mereka kembali hidup normal di masyarakat, memiliki daya guna untuk mandiri. Bahkan strategi Pemkot rela mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk membeli lahan wisma Barbara di Dolly agar berubah fungsi menjadi tempat yang lebih bermanfaat. Sayangnya, pemilik wisma tersebut tidak lantas berhenti mejalankan bisninya melainkan justru kembali membuka usahanya di tengah kota yakni di kawasan komplek ruko Jl Kedungdoro Surabaya. Namun Pemkot nampaknya tutup mata dan membiarkan usaha esek-esek itu berjalan aman-aman saja.

Pertentangan penutupan lokalisasi itupun terus dilakukan. Upaya untuk mengukuhkan lokalisasi tetap sebagai lokalisasi, terus dilakukan pihak Front Pekerja Lokalisasi (FPL) yang tak setuju Dolly dan Jarak ditutup. Intervensi pun silih berganti, baik kepada yang mendukung dan yang menolak Dolly dan Jarak ditutup. Hal ini tentu memunculkan kebimbangan atau kebingungan baru bagi para penghuni lokalisasi. Namun dengan pendekatan yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun sebelum lokalisasi ditutup, upaya itu pun tak sia-sia.

Pemkot Surabaya yang dibantu Pemprov Jatim serta Kementerian Sosial tak sekadar memberikan pelatihan keterampilan bagi pelaku lokalisasi. Pemerintah juga telah memberi dana kompensasi, agar dana itu bisa menjadi modal awal untuk para penghuni lokalisasi menjalankan usaha barunya melalui keterampilan yang sudah didapat.

Upaya penutupan lokalisasi yang dilakukan Pemkot Surabaya, jika dibanding kawasan atau daerah lain di Indonesia memang terbilang elegan dan cerdas. Pendekatan persuasive yang panjang, rela dijalankan Pemkot Surabaya demi tercapainya tujuan menghilangkan lokalisasi dari bumi Sawunggaling ini. Sementara, daerah lain justru menekankan tindakan yang lebih keras atau tegas. Makanya tak jarang, perlawanan anarkis justru terjadi di daerah lain saat ada penutupan suatu lokalisasi. Surabaya yang sarat dengan budaya timurnya pun, walau masyarakatnya dikenal keras, namun tindakan pemerintahnya lebih cantik.

Sekadar mengingatkan, lokalisasi pertama yang berhasil ditutup adalah Dupak Bangunsari pada 21 Desember 2012. Saat ditutup, sebanyak 163 pekerja seks yang tersebar di 61 wisma dan 50 mucikari dialihprofesikan. Meski awalnya mendapat protes keras dari warga sekitar lokalisasi, namun warga terdampak merasakan hasil penutupan dan mampu meraup penghasilan lebih tinggi dibandingkan saat kawasan tersebut menjadi lokalisasi yang rata-rata beromzet Rp 10 juta per bulan.

Dalam hal ini, Walikota Surabaya Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Risma berhasil menyulap kawasan Dupak Bangunsari menjadi usaha produksi makanan kemasan, produk keset, pernak-pernik serta jilbab tenun. Para warga yang awalnya menggantungkan perekonomiannya dari wisma dan karaoke kini berbalik 180 derajat.

Selanjutnya, Tambak Asri yang resmi ditutup pada 28 April 2013. Lokalisasi yang memiliki 354 wanita harapan dengan 96 mucikari yang tersebar di RW 6 dan RW 9 Jalan Tambakasri, Kelurahan Morokrembangan, Kecamatan Krembangan. Para wanita harapan, sebutan untuk mantan PSK—ini tersebar di 90 wisma dan 20 café.

Sama halnya dengan lokalisasi Bangunsari, Risma memberikan pelatihan dan bantuan kepada warga terdampak. Dari data, ada seorang warga yang awalnya mendapat bantuan 2 buah mesin cuci untuk usaha laundry, kini sudah memiliki 10 mesin cuci. Selain itu, rumah bekas wisma, beberapa diantaranya disewa pemkot untuk menampung warga yang mengerjakan jilbab tenun dan pernak-pernik yang merupakan limpahan dari Dupak Bangunsari karena kewalahan menerima pesanan.

Selanjutnya, walikota perempuan pertama di Indonesia ini kembali menutup dua lokalisasi di kawasan Surabaya Barat yakni, Moroseneng dan Klakah Rejo pada 22 Desember 2013. Dua lokalisasi ini dihuni sekitar 350 PSK dan 90 mucikari. Biasanya, usai menutup lokalisasi, pasti diadakan deklarasi bersama tokoh masyarakat setempat. Bentuk deklarasi penutupan itu dikemas dengan cara pengajian bersama. Deklarasi itu berupa pernyataan warga dan tokoh masyarakat yang berkeinginan wilayahnya menjadi wilayah yang bersih, sehat, aman, nyaman, dan bebas prostitusi.

Namun keempat lokalisasi ini terbilang mudah, karena sejak diberlakukan larangan untuk menambah PSK oleh pemerintahan sebelumnya, dipimpin Bambang DH, lambat laun PSK-nya berkurang dengan sendirinya. Begitu juga di Dolly dan Jarak, jumlah PSK pun tak boleh bertambah. Upaya ini dilakukan usai libur lebaran Idul Fitri. Saat itu, ada aturan, jika penghuni lokalisasi tak boleh bertambah. Sebelum mereka menghentikan usahanya sementara, saat Ramadhan, mucikari atau PSK yang pulang kampung dilarang membawa PSK baru. Saat itu ada pendataan jumlah penghuni lokalisasi dan jika usai libur lebaran ada penambahan, maka Pemkot Surabaya tak segan untuk mengembalikan mereka ke tempat asalnya.

Di Dolly dan Jarak terbilang sulit, karena para mucikari, PSK, serta warga sekitar, selama ini mengandalkan penghasilan dari lokalisasi. Bisnis esek-esek itu menghasilkan puluhan juta rupiah yang bisa diraup setiap wisma per bulan. Secara keseluruhan, omzet bisnis prostitusi per bulan di lokalisasi Dolly saja bisa mencapai miliaran rupiah. Setiap PSK bisa mengantongi uang antara Rp 13 juta dan Rp 15 juta per bulan. Sementara sang mucikari bisa mendapat Rp 60 juta per bulan.

Warga sekitar seperti pedagang kaki lima (PKL), pengayuh becak, tukang cuci pakaian PSK, hingga warga sekitar yang bekerja sebagai makelar PSK juga meraup keuntungan dari bisnis itu. Namun hal ini mulai dikikis dengan adanya pemasangan CCTV di lokalisasi itu oleh Pemkot Surabaya. Bahkan sejak rencana penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak muncul, upaya pemerintah adalah dengan mengintensifkan razia oleh petugas keamanan gabungan di lokalisasi. Hasilnya, jumlah pengunjung pun berkurang.

Dari situlah muncul keresahan dari mucikari, PSK dan warga terdampak. Mereka meminta uang ganti rugi hingga miliaran rupiah dan menolak uang kompensasi untuk mucikari sebesar Rp 10 juta dan PSK sebesar Rp 5 juta. Karena kompensasi itu dianggap tak sebanding dengan penutupan yang mematikan pendapatan menggiurkan mereka. Saat itu rata-rata setiap wisma berisi 10 sampai 15 PSK. Di Dolly sendiri terdapat 51 wisma. Bila wisma di Dolly dan Jarak digabung maka jumlahnya mencapai 300-an titik.

Kini setelah Dolly dan Jarak ditutup, Pemkot Surabaya kembali menyiapkan skenario untuk mengalihfungsikan bekas kawasan itu. Pemkot Surabaya berkeinginan menjadikan kawasan itu sebagai pusat kegiatan masyarakat yang positif. Wisma yang dibeli pun ingin dijadikan sebagai pusat kegiatan.

Namun kalangan DPRD Surabaya saat itu mempertanyakan upaya yang belum berjalan. Bahkan sampai kini, sejak lokalisasi itu ditutup beberapa bulan silam, belum terlihat geliat baru di kawasan yang dialihfungsikan tersebut.

“Kita sampai saat ini belum melihat adanya perubahan kawasan di Dolly dan Jarak. Saat itu memang ada pertentangan (Pro dan Kontra, red) di DPRD Surabaya. Penolakan itu bukan untuk mendukung adanya lokalisasi, tapi lebih kearah kurang siapnya Pemkot Surabaya pasca-penutupan lokalisasi. Konsep pasca-penutupan itu tak jelas. Penutupan itu terkesan mendesak harus dijalankan. Namun berbeda jika konsepnya jelas, pasti mendapat dukungan penuh. Yang dikhawatirkan, kalau konsep itu tak jelas, penutupan bakal memunculkan prostitusi baru di kawasan lain,” tegas anggota DPRD Surabaya Baktiono, saat itu.

Kalangan DPRD Surabaya juga sempat mempertanyakan langkah tegas pemkot. Jangan hanya lokalisasi, jika ingin menghilangkan prostitusi di Surabaya, maka semua titik harus disikat. Nyatanya, prostitusi terselubung yang ada di tempat rekreasi dan hiburan umum (RHU), masih dibiarkan. Ini juga jadi pertanyaan masyarakat, sebab tak sedikit tempat RHU yang masih menyediakan jasa wanita penghibur yang notabene juga berbau prostitusi.

berdasarkan Informasi yang dihimpun, setelah pemkot berhasil menutup lokalisasi kini banyak tempat pronstitusi di Surabaya. Selain dikawasan Kedungdoro, tempat prosntitusi terselung tersebut ada di di Jl Tunjungan yang berkedok Spa. Kabarnya tarifnya fariatif mulai Rp 450 ribu hingga Rp 900 ribu. Tetapi entah kenapa tim penertiban Pemkot Surabaya tutup mata tak menyentuh tempat-tempat usaha yang ditengarai sebagai tempat pronstitusi tersebut.

Bahkan saat ini, muncul prostitui jalanan. Sebut saja di kawasan Taman Bungkul. Pedagang di kawasan itu mengakui tak sedikit ada wanita luberan penutupan Dolly dan Jarak yang berkeliaran di tempat itu. Sudah pasti, mereka akan menyaru bak mahasiswi. Ini juga sebagai dampak dari penutupan enam lokalisasi di Surabaya yang diklaim berhasil dijalankan pemerintahan Tri Rismaharini.

Apapun itu, semoga niat baik pemerintah ini dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk menghilangkan prostitusi dari Kota Pahlawan. Pekerjaan Rumah Pemkot Surabaya masih panjang, konsep penutupan tak berhenti sampai di sini saja. Konsep itu harus benar-benar dijalankan, jangan sampai lokalisasi yang sudah terdiam beberapa bulan bahkan tahun, kembali muncul bak jamur dimusim hujan.

Terkait hal ini, anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti meminta Pemkot Surabaya memperketat pengawasan tempat usaha hburan yang ditengarai menjadi tempat pronstitusi terselubung. ” Pemkot harus tegas konsisten dalam memberantas pronstitusi. Jangan hanya bisa menutup lokalisasi tapi membiarkan praktek pronstitusi terselubung makin menjamur,” tegasnya..

Politisi PKS juga mempertanyakan apakah penutupan lokalisasi di Surabaya oleh Pemkot ini benar-benar sudah berjalan sesuai yang diharapkan. “Jangan sampai semangat untuk menutup tapi membiarkan praktek pronstitusi terselubung,” kata Reni. (red)  

Related posts

Arumi: UMKM Tulang Punggung Perekonomian Jatim

kornus

Kapolda Jatim Resmikan Layanan e-Tilang Polres Kediri

kornus

Keputusan Vital Wali Kota Eri Atasi Genangan di Mayjend Sungkono: Mohon Maaf Warga Surabaya

kornus