Pupus sudah anggapan bahwa pejabat teras Pemkot Surabaya tersebut sebagai pejabat yang “kebal hukum” apabila putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengganjar hukuman 1,6 tahun terhadap tiga pejabat Pemkot Sekkota Sukamto Hadi, Muhlas Udin, Perwito dan satu pimpinan DPRD Surabaya Musyafak Rouf tersebut, benar-benar turun atas kasus gratifikasi atau suap.
Maka tiga pejabat Pemkot dan salah satu pimpinan dewan itu bakal menjalani hukuman penjara. Selain itu akan menimbulkan kesan kebal hukum tersebut akan muncul dikalangan pegawai rendahan Pemkot sendiri disaat Walikotanya dua periode dijabat oleh Bambang DH, setelah puluhan laporan masyarakat atas dugaan korupsi selalu gagal tidak membekas, bahkan lembaga KPK yang dikenal oleh dunia hukum sebagai super body pun, justru memberi predikat “ bebas korupsi” terhadap Pemkot Surabaya. Ada apa…?
Surabaya – KN
Seperti yang diketahui publik, dua pekan lalu sebuah Koran harian lokal Surabaya jum’at dan beberapa media online, Jumat (25/2), lalu secara tiba-tiba menurunkan berita dikabulkannya kasasi Jaksa penuntut atas kasus gratifikasi yang menimpa Sukamto Hadi (Sekkota), Muhlas Udin (Assisten Sekkota), Purwito (Mantan Kepala Keuangan Pemkot) dan Musyafa” Rouf (Pimpinan DPRD) Surabaya, dengan nomor register 1461 K/PID.SUS/2010, berkaitan dengan lolosnya APBD diduga untuk kepentingan bisnis busway diduga ada sesuatu yang menyertainya.
Sedangkan dana yang digunakan untuk menyertai lolosnya APBD tersebut adalah dana jasa pungut (japung) yang seharusnya menjadi hak petugas pelaksanan teknis pemungut pajak. Sehingga muncul dugaan kasus suap, dan empat pejabat tersebut dijadikan terdakwa atas kasus gratifikasi. Namun dalam persidangan di PN Surabaya ke empat terdakwa tersebut bebas. Bebasnya ke tiga pejabat teras Pemkot dan salah satu pimpinan dewan tersebut, mempertebal kesan mereka sebagai pejabat yang sulit disentuh oleh hukum.
Sebenarnya kasus gratifikasi ini adalah kasus yang kecil jumlah nilainya, karena masih banyak kasus lainnya yang menguap diperjalanan seperti kasus yang dikenal dengan kasus Asnan (Aset Pemkot di Dukuh Kupang) senilai Rp 6 milyar yang diduga melibatkan orang penting di Surabaya, kasus pembangunan pasar turi mulai dari pembangunan TPS tanpa tender senilai Rp 18,9 milyar, tender BOT pasar turi abal-abal dengan plintiran tender kontruksi dengan kepres 80/2003, dan tender penjualan gedung pasar turi senilai Rp 2 milyar, padahal gedung itu hasil pengadaan Pemkot sebesar Rp 78 milyar pada tahun 2004, kasus rekening Bank Jatim yang dikenal dengan DOC (Dana On Call), kasus bancaan dana APBD dengan dalih tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) 2009-2010, kasus pengadaan incinerator mini, kasus dana persebaya Rp 15 milyar melalui titipan di dinas sosial, kasus konsultan pajak yang diduga fiktif karena dikerjakan sendiri oleh oknum orang dalam dengan bendera konsultan dan masih banyak lagi kasus lainya yang mengarah pada korupsi.
Belum lagi banyaknya mega proyek yang mubazir di Pemkot Surabaya dalam jumlah yang cukup besar dan salah satunya adalah proyek pembangunan Stadion atau yang dikenal Surabaya Sport Centre (SSC) senilai Rp 600 milyar yang diduga dilakukan dengan tender abal-abal, dan tidak lama lagi diperkirakan akan jadi monumen gedung setan karena tidak digunakan.
“Proyek SSC itu pernah ditolak oleh Gubernur Jatim ketika itu dijabat Basofi Sudirman, disaat membutuhkan stadion untuk kepentingan Pon karena dinilai tidak fisible dan akan menghambur-hamburkan dana, tapi kenapa terus dipaksakan dibangun sekarang ini, dan anehnya yang mengerjakan proyek sebesar itu dikenal dengan pola koncoisme (pertemanan) dengan pemegang kendali di kota ini,” ujar salah seorang sumber mantan staf Dinas Tata Kota Pemkot Surabaya yang ikut terlibat dalam merencanakan SSC sebelum ditolak oleh Gubernur Jatim saat itu.
Kenapa tidak fisible kata sumber tersebut, karena lokasinya berada di belahan terpencil yang belum didukung oleh akses infrastruktur yang memadai. Sebab, selain lokasinya berhimpitan dengan tempat pembuangan sampah (TPA) dan setiap musim penghujan selalu banjir karena dampak luapan kali lamong. “Sekarang biaya perawatanya saja anggarannya sebesar Rp 20 milyar per tahun, tapi tidak ada yang memakai, apa akan diteruskan?. Kalau Walikotanya seperti almarhum Purnomo Kasidi, pasti arsiteknya kena damprat dan bahkan bisa-bisa dilaporkan sendiri ke lembaga penegak hukum oleh walikotanya karena menghamburkan uang rakyat,” tambahnya.
Contoh lain, adanya gedung mangkrak yang dibangun oleh Pemkot tapi tidak pernah dipakai tersebut juga berada di wilayah Kelurahan Rungkut Kidul, gedung yang rencananya akan digunakan untuk kantor catatan sipil, tetapi sejak dibangun hingga sekarang tidak ditempati dan justru digunakan untuk pembuatan pupuk organic. Ini semua akibat dari system perencanaan yang kurang cermat dan terkesan asal menghabiskan uang rakyat saja (mengejar target penyerapan).
Sementara dibalik kabar turunnya putusan MA yang menjatuhkan tiga orang terdakwa pejabat Pemkot Sukamto Hadi, Muhklas Udin dan Purwito tersebut apabila benar adanya, banyak yang menilai bahwa hukuman itu kurang adil karena yang dijerat hukum baru terinya saja, sedangkan kakapnya sama sekali tidak disentuh. Padahal kebijakan APBD itu adalah kebijakan Kepala Daerah, sedangkan bawahan tinggal melaksanakan saja.
“Dana japung itu baru bisa cair apabila ada persetujuan Walikota atas saran keputusan rapat dari satuan Empat yang trerdiri dari Sekkota, Bagian Penyusunan Program, Badan pengelolaan keuangan dan Bappeko, kalau tidak ada persetujuan tersebut, maka dana japung tidak bisa dicairkan,” kata salah seorang staf Pemkot Surabaya tak mau disebutkan namanya.(red)