KORAN NUSANTARA
indeks Lapsus Surabaya

Benarkah Sekkota Sukamto Hadi Cs Korupsi, Atau Korban Kriminalisasi Kebijakan Pimpinan?

Surabaya (KN) – Kasus gratifikasi yang menimpa tiga pejabat Pemkot Surabaya, yakni Sekkota Sukamto Hadi, Asisten II Muhlas Udin dan mantan Kabag Keuangan (sekrang Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan) Poerwito benar-benar mengguncang Pemkot Surabaya. Ini setelah turunya keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memvonis tiga pejabat Pemkot tersebut sebagai terpidana korupsi gratifikasi senilai Rp 720 juta untuk anggota dewan. Namun hal itu menimbulkan pertanyaan besar, benarkah Sukamto Cs itu korupsi atau mereka hanya korban Kriminalisasi kebijakan pimpinanya. Padahal kebijakan pemberian uang sebesar Rp 720 juta kepada anggota DPRD Surabaya pada saat itu belum tentu atas inisiatif mereka bertiga, karena pemberian uang yang dituduh gratifikasi itu berdasarkan aturan yang diputuskan melalui rapat dan atas perintah pimpinanya (Walikota) pada saat itu. Akibatnya pejabat yang merasa tidak bersalah itu terseret dalam proses hukum dan dipidana karena dianggap korupsi dan divonis bersalah melakukan gratifikasi.
Meski mengaku tidak bersalah, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Sukamto Hadi bersama dua rekan lainnya Asisten II Muhlas Udin, serta mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan yang kini menjadi Staf Ahli Walikota Surabaya, Poerwito menyatakan ikhlas menajalani hukuman yang dijatuhkan kepada mereka. 

Terkait tidak hadirnya Sukamto dan dua rekannya itu dalam panggilan eksekusi Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, Senin (11/2/2013) kemarin. Sukamto menjelaskan bahwa mereka bertiga saat itu tengah mempersiapkan mental dirinya dan keluarganya. Tapi Sukamto cs berjanji akan memenuhi panggilan eksekusi kedua Kejari, Senin (18/2/2013) pekan depan.

“Kami tidak mangkir dari panggilan kejaksaan dan siap menjalani hukuman. Bahkan, sekalipun kami mati sebelum ditahan, kami minta jasad kami dibawa ke penjara. InsyaAllah saya akan datang (ke panggilan kedua Kejari, Red). Bahkan kalau perlu saya akan datang lebih pagi dalam keadaan apapun,” kata Sukamto Hadi kepada wartawan saat jumpa pers di Balai Kota, Selasa (12/2/2013) kemarin.

Menurut dia, tidak ada sedikitpun niatan untuk mangkir apalagi sampai melarikan diri atas putusan tersebut. Meski, gencarnya pemberitaan mengenai keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memvonis dirinya bertiga sebagai terpidana korupsi gratifikasi senilai Rp 720 juta menjadi pukulan berat baginya.

Saat kasus tersebut mengemuka, lanjut Sukamto, mulai saat itu ia bersama keluarga sudah terhukum. Artinya, dia dan keluarga merasa sudah terhina dan teraniaya oleh rasa malu baik di tengah keluarga, di kantor, maupun di tengah masyarakat. Hukuman itu tidak akan pernah terhapus dan akan terus ada selamanya. Bahkan, hukuman itu akan terbawa sampai meninggal dunia.

“Itu teramat sangat menyakitkan dan pastilah akan terus dikenang sampai anak cucu nantinya. Padahal, kami tidak pernah korupsi dan tidak pernah makan uang yang dituduhkan untuk korupsi itu,” kata Sekkota yang berpenampilan sangat santun ini. Oleh karena itu, kata dia, keluarga harus bisa ditenangkan dalam menghadapi keputusan MA tersebut.

Pihaknya juga meminta maaf kepada Walikota Surabaya Tri Rismaharini atas kasus yang menimpanya tersebut yang secara tidak langsung mencoreng nama baik institusi Pemkot Surabaya. “Kami juga terima kasih kepada ibu Walikota yang telah memberi petunjuk, arahan, serta bimbingannya,” ujar Sukamto.

Ia mengatakan, pihaknya tidak merugikan negara, tidak memperkaya diri sendiri maupun orang lain, melainkan apa yang dilakukannya semata hanya melaksanakan peraturan pemerintah sesuai tugas dan jabatan yang kemudian dianggap bersalah. “Ini risiko tugas yang harus kami pertanggungjawabkan di hadapan hukum,” katanya dengan pasrah.

Menurutnya, ini adalah kondisi hidupnya yang paling kelam sepanjang perjalanan hidup. “Saya ikhlas menerima kenyataan ini, selama enam tahun ini saya seperti orang yang mati,” ujarnya.

Dengan mengenakan setelan kemeja hitam, Sekkota Sukamto Hadi menyatakan kesiapannya untuk menghadiri panggilan pengadilan. Saat pemanggilan pertama dirinya memang mengaku sedang menyiapkan mental keluarganya yang ditinggal di rumah.

Baginya melanjutkan hidup di hotel prodeo tak pernah terlintas dalam pikirannya. Keluarganya pun berkali-kali shock ketika teringat kepala keluargnya harus dibui karena dituduh  korupsi. “Saya tak akan mangkir, beberapa hari terakhir ini saya mempersiapkan kondisi keluarga yang mau ditinggal,” kata Sukamto lirih.

Selain itu, lanjutnya, cap sebagai koruptor belum bisa diterima oleh keluarganya. Keputusan MA menjadi titik balik dari kariernya sebagai birokrat tulen. “Enam tahun terakhir ini saya dan keluarga sudah terhukum. Kami sudah teraniaya oleh rasa malu di tengah keluarga dan masyarakat,” ungkapnya.

Ia pun mengaku tak akan menaruh rasa dendam dan dusta, yang ada cumapenyesaan saja. Baginya, semua proses hukum dan keadilan memang harus ditegakan tanpa pandang bulu. Dirinya juga berkali-kali mengucapkan permintaan maaf dan penyesalan teramat dalam karena ditetapkan sebagai koruptor.

Kondisi yang membuat pikirannya terguncang adalah hukuman yang akan diterima anak-cucunya nanti. Sebab, cap koruptor yang kini melekat pada dirinya akan diterima oleh seluruh keluarga.  “Kini yang tersisa dari kami hanya penyesalan,” sambungnya.

Sedangkan, Muhlas Udin menambahkan bahwa uang yang dianggap merugikan negara sudah dikembalikan semuanya sejak enam tahun lalu. “Tapi kami mengerti meski uang kerugian negara telah kami kembalikan bukan berarti kasus hukumnya bisa selesai begitu saja. Makanya kami ikhlas lahir batin menerima vonis MA tersebut dan akan datang pada panggilan kedua nanti,”  katanya.

Sebenarnya kasus gratifikasi ini adalah kasus yang kecil jumlah nilainya, karena masih banyak kasus lainnya yang menguap diperjalanan seperti kasus yang dikenal dengan kasus Asnan (Aset Pemkot di Dukuh Kupang) senilai Rp 6 milyar yang diduga melibatkan orang penting di Surabaya, kasus pembangunan pasar turi mulai dari pembangunan TPS tanpa tender senilai Rp 18,9 milyar, tender BOT pasar turi abal-abal dengan plintiran tender kontruksi dengan kepres 80/2003, dan tender penjualan gedung pasar turi senilai Rp 2 miliar, padahal gedung itu hasil pengadaan Pemkot yang dibiayai APBD sebesar Rp 78 milyar pada tahun 2004, kasus rekening Bank Jatim yang dikenal dengan DOC (Dana On Call), kasus bancaan dana APBD dengan dalih tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) 2009-2010, kasus pengadaan incinerator mini, kasus dana persebaya Rp 15 miliar melalui titipan di dinas sosial, kasus konsultan pajak yang diduga fiktif karena dikerjakan sendiri oleh oknum orang dalam dengan bendera konsultan dan masih banyak lagi kasus lainya yang mengarah pada korupsi.

Belum lagi banyaknya mega proyek yang mubazir di Pemkot Surabaya dalam jumlah yang cukup besar dan salah satunya adalah proyek pembangunan Stadion atau yang dikenal Surabaya Sport Centre (SSC) senilai Rp 600 miliar yang diduga dilakukan dengan tender abal-abal.

Contoh lain, adanya gedung mangkrak yang dibangun oleh Pemkot tapi tidak pernah dipakai tersebut juga berada di wilayah Kelurahan Rungkut Kidul, gedung yang rencananya akan digunakan untuk kantor Catatan Sipil, tetapi sejak dibangun hingga sekarang tidak ditempati dan justru digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Ini semua akibat dari system perencanaan yang kurang cermat dan terkesan asal menghabiskan uang rakyat saja (mengejar target penyerapan).

Sementara dibalik itu, turunnya putusan MA yang menjatuhkan tiga orang terdakwa pejabat Pemkot Sukamto Hadi, Muhklas Udin dan Purwito tersebut, banyak yang menilai bahwa hukuman itu kurang adil karena yang dijerat hukum itu baru terinya saja yang korban, sedangkan kakapnya sama sekali tidak disentuh. Padahal kebijakan untukmemberikan uang kepada anggotadewan itu adalah kebijakan Kepala Daerah, sedangkan bawahan seperti Sekkota, Asisten dan Kabag Keuangan saat itu hanya tinggal melaksanakan saja.

“Dana itu baru bisa cair apabila ada persetujuan Walikota atas saran keputusan rapat dari satuan Empat yang trerdiri dari Sekkota, Bagian Penyusunan Program, Badan Pengelolaan Keuangan dan Bappeko, kalau tidak ada persetujuan tersebut, maka dana Rp 720 juta tersebut tidak bisa dicairkan,” kata salah seorang PNS Pemkot Surabaya tak mau disebutkan namanya. (red)

 

Foto : Sekkota Surabaya, Sukamto Hadi

 

 

 

Related posts

Pemkot Tak Serius Selesaikan Masalah TOW

kornus

Panglima TNI : Tindak Tegas Kesalahan Prajurit

kornus

Mapolda Riau Diserang Teroris, 1 Tewas

redaksi