Menurut dia, berbagai pandangan dan masukan masyarakat terkait hak asasi manusia (HAM) harus menjadi landasan dalam upaya pembaruan KUHP.
“KUHP yang saat ini masih bersandar pada hukum di masa kolonial, pembaruan dasar hukum pidana adalah sebuah keharusan untuk menyesuaikan dengan kondisi negara yang sudah jauh berbeda,” kata Lestari dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.14/12
Hal itu dikatakan Lestari saat membuka diskusi bertema “Diskursus HAM dalam Pembaruan KUHP” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12.
Menurut dia, dalam proses pembangunan nasional, penyesuaian berbagai instrumen hukum dalam upaya menjawab kebutuhan zaman mesti meletakkan paradigma keberagaman dalam setiap asumsi dan pertimbangan pengambilan keputusan.
Lestari menegaskan bahwa perkembangan zaman menuntut adaptasi terkait kebutuhan perlindungan, aturan, dan hukum sehingga sangat penting untuk mewujudkan hukum pidana nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Saya berharap masukan dari para narasumber dalam diskusi ini dapat memperkaya persepsi dan pemahaman terkait diskursus HAM dalam proses pembaruan KUHP,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, juru bicara Tim Sosialisasi RUU KUHP Albert Aries mengatakan tidak mudah menyusun KUHP di negeri yang multietnis, multireligi, dan multibudaya.
Menurut ia, RKUHP yang baru disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang merupakan titik keseimbangan yang bisa dicapai dalam pembuatan landasan hukum pidana di Indonesia.
“Dalam prosesnya banyak dilakukan reposisi, reformulasi, bahkan penghapusan untuk mencapai keseimbangan itu,” ujarnya.
Albert menambahkan setiap ada masukan dan aspirasi terkait KUHP yang baru, tim selalu membahasnya dengan tetap mengacu pada Pancasila, UUD 1945 dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait.(ara/wan)