Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Fraksi – fraksi di DPRD Jatim memberikan sejumlah catatan dalam rapat paripurna terkait dengan nota penjelasan Gubernur Jawa Timur terhadap Raperda Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2020, Senin (21/6/2021). Mulai dari menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dan juga Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOP).
Juru Bicara Fraksi PKB Siti Mukiyarti mengatakan, pada tahun 2019 realisasi PAD Jatim mencapai 19,3 triliun atau melebihi target yang diestimasikan sebesar 18,2 triliun. Kemudian pada tahun 2020 realisasi PAD Jawa Timur sebesar 17,9 triliun dari target sebesar 15,4 triliun. “Artinya secara persentase realisasi PAD tahun 2020 memang lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. Akan tetapi secara kuantitas, kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah Jatim di tahun 2019 lebih besar dibandingkan tahun 2020. Terkait hal tersebut itu, kami mohon penjelasan,” ujarnya.
Ia menambahkan dengan demikian SILPA Jatim 2020 sebesar Rp 3,7 triliun, dari total belanja daerah Rp 32,2 triliun, sehingga SiLPA berada pada kisaran 15 persen dari total belanja daerah. Besaran SILPA di atas 10 persen tergolong besar, meskipun masih di bawah standar maksimal 15 persen sebagaimana ditentukan oleh Kementerian Keuangan.
“Secara komparatif, SILPA sebesar Rp 3,7 Triliun ini dipandang besar bila dibandingkan dengan porsi belanja pendidikan yang hanya Rp 2,8 triliun, maupun belanja pertanian yang hanya Rp 77 Miliar,” katanya.
Lebih lanjut Siti juga menyampaikan terkait BPOPP untuk sekolah negeri maupun swasta yang dinilai masih kurang jumlah yang dianggarkan dalam APBD tahun 2021 ini. Karena itu pihaknya meminta kepada eksekutif untuk menata ulang alokasi anggaran BPOPP pada postur perubahan APBD Tahun 2021 nanti.
“Kami juga mohon penjelasan kenapa alokasi anggaran BPOPP untuk lembaga pendidikan berbasis madrasah (Madrasah Aliyah) masih sangat minim. Belum sebanding dengan BPOPP lembaga pendidikan non-Madrasah. Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, di Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Akan tetapi dalam realisasinya terkesan ada perlakuan yang berbeda dari pemprov Jatim terhadap sekolah berbasis madrasah dan sekolah berbasis non-madrasah. Karena itu kamk mendesak Gubernur untuk menambah jumlah alokasi BPOPP dalam perubahan APBD 2021 serta mendistribusikannya secara sama dan merata kepada semua jenis sekolah,” paparnya.
Juru Bicara Fraksi PDIP Martin Hamonangan mengatakan, pihaknya memahami bahwa pandemi Covid-19 serta beberapa kebijakan Pemerintah Pusat mempengaruhi upaya Pemprov Jatim untuk mengelola pemerintahan secara efektif dan efisien. Termasuk di dalamnya adalah hambatan dan kendala terkait pencapaian realisasi belanja tahun anggaran 2020.
“Kami mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan strategis yang kreatif dan tidak bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku sehingga pada TA 2021 realisasi belanja barang dan jasa bisa mendekati rencana,” terangnya.
Sementara Ketua Fraksi Keadilan Bintang Nurani (FKBN) DPRD Jatim, Dwi Hari Cahyono mengatakan pihaknya menyoroti pertanggungjawaban APBD Jatim 2020. Dimana Silpa (selisih lebih/kurang antara realisasi pendapatan LRA dan belanja) yang besar.
“Terhadap kinerja realisasi anggaran dimana dalam Nota keuangan, disebutkan bahwa Defisit tidak sesuai target, menyebabkan pembiayaan netto sebesar Rp 4,3 Triliun lebih lebih hanya digunakan untuk menutup Defisit anggaran sebesar Rp 6,7 miliar lebih, sehingga terjadi Silpa sebesar 3,7 Triliun lebih. Terkait dengan ini, perlu kiranya dilakukan pennelusuran sumber-sumber penyebab terjadinya SILPA berdasar PP 12/201, terutama pelampauan penerimaan pendapatan transfer, pelampauan penerimaan Pembiayaan, dan kewajiban terhadap pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan. Kami minta penjelasan gubernur,” ungkap Dwi Hari Cahyono saat ditemui sesuai rapat paripurna di gedung DPRD Jatim, Senin (21/6/2021).
Politisi asal PKS ini mengatakan, Saldo Akhir Kas Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2020 sebesar Rp 3,7 Triliun lebih. Dokumen CALK LPP APBD Tahun 2020, tidak menyajikan berapa Silpa tahun berjalan berdasarkan sumbernya (obyek dan rincian obyek belanja), oleh karena itu disarankan agar DPRD meminta kelengkapan data silpa 2020 (audite) dilengkapi dengan sumbernya, agar DPRD dapat mengetahui sejak dini dari total Silpa.” Karena itu, penting untuk dimintakan penjelasan lebih detail Rincian Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) Berdasarkan silpa yang belum terikat penggunaannya) dan berapa besaran silpa tahun berjalan yang memang sudah terikat penggunaannya. Dari sana akan diketahui, kinerja serapan anggaran dari masing-masing OPD atau yang lainnya,” terangnya.
Soal kinerja belanja daerah, F-KBN berpendapat, kinerja belanja daerah masih belum optimal, yakni hanya 93,41% dari target. Sehingga ada selisih sebesar 2,2 Triliun lebih. Di tengah pandemi dan meningkatnya kebutuhan dana untuk penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19, seharusnya optimalisasi belanja daerah bisa dilakukan melalui kebijakan rasionalisasi/perubahan target belanja dan refocusing. Hal ini sebagai respon terhadap Perppu No.1/2020, Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 119/2813/SJ dan Nomor 177/KMK.07/2020 tentang percepatan penyesuaian APBD TA 2020 dalam rangka Penanganan Covid-19, serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional.
“Terkait dengan ini perlu ada pencermatan lebih lanjut atas Catatan atas Laporan Keuangan Daerah Provinsi Jawa Timur (CaLK) Tahun 2020 yang telah teraudit BPK; Apakah ketidaktercapaian tersebut dikarenakan adanya kesalahan dalam penyusunan perencanaan anggaran program/kegiatan, atau karena adanya ketidakakuratan dalam proses pengadaan barang dan jasa. (KN01)