Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Sejak dilantik 26 Februari 2021, pasangan Walikota Eri Cahyadi dan Wakilnya Armuji, bakal melakukan perombakan sejumlah pejabat eselon II hingga eselon IV di lingkungan Pemkot Surabaya mulai September mendatang.
Perombakan posisi tersebut akan berjalan seiring perubahan susunan organisasi dan tata kerja (SOTK) di lingkungan Pemkot Surabaya. Apalagi DPRD Kota Surabaya bersama Pemkot Surabaya telah mengesahkan Raperda Perubahan Atas Perda Surabaya Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Surabaya, Senin (16/8/2021).
Di dalam perubahan perda tersebut menggabungkan sekaligus memecahkan sejumlah OPD. Rencananya, SOTK yang baru akan berjalan mulai 2022.
Selain adanya peleburan, sejumlah OPD di Pemkot Surabaya memang sedang mengalami kekosongan jabatan. Saat ini banyak di antaranya diisi seorang pelaksana tugas (Plt).
Menanggapi rencana mutasi pertama di era kepemimpinan Eri Cahyadi-Armuji, Ketrua Fraksi Golkar (FPG) DPRD Surabaya, Arif Fathoni SH mengatakan bahwa FPG memahami bahwa reposisi dan mutasi pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya adalah hak prerogatif wali kota. Tentu reorganisasi tersebut dalam rangka agar frekuensi antara wali kota dan wakil wali kota dengan organisasi perangkat daerah (OPD)- nya menjadi sama atau seirama. Termasuk dalam hal kinerja.
Toni, panggilan Arif Fathoni, melihat manajemen kepemimpinan Eri Cahyadi-Armuji menggambarkan gabungan orang lapangan dengan orang manajerial.
“Ya, mudah- mudahan dengan reorganisasi ini semakin menambah kinerja Pemkot Surabaya, dalam rangka merealisasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),”ujar Toni, Kamis (26/8/2021).
Namun demikian, Toni yang juga anggota Komisi A (Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Kota Surabaya ini berharap pada wali kota periode sekarang tidak ada lagi rangkap jabatan. Sebab, dari aspek apapun rangkap jabatan tersebut menghambat kinerja.”Karena satu orang harus fokus pada dua lembaga. Itu tidak mudah,” tandas dia.
Selain itu, lanjut dia, rangkap jabatan ini menghambat regenerasi di lingkungan Pemkot Surabaya. Ada banyak pejabat fungsional yang sebenarnya sudah layak memimpin OPD. Tapi karena proses rangkap jabatan itu, membuat nilai- nilai manajerial yang bersangkutan menjadi tidak bermanfaat. “Itu saja harapan kami,” ungkap Toni.
Lebihlanjut, politisi Golkar mantan wartawan ini menegaskan, soal siapa ditempatkan dimana, dirinya percaya Eri Cahyadi dan Armuji sudah punya pertimbangan yang matang untuk itu semua. “Kami tidak dalam konteks untuk mendorong-dorong seseorang menjadi apa, ” ungkap Toni.
Soal rencana Eri Cahyadi menerapkan swastanisasi birokrasi, yang mana jika kepala OPD tak bisa memenuhi target diganti, Toni mengaku setuju. Dengan demikian, basic reward and punishment-nya jelas. Selama ini meski standar operasional prosedur (SOP) nya ada, tapi proses reward and punishment tak berjalan dengan baik. Buktinya masih banyak pejabat yang rangkap jabatan.
Kalau dulu, kata Toni, alasan rangkap jabatan kan karena susah menunjuk orang. Ini bukan soal susah menunjuk orang, tapi bagaimana seorang pemimpin punya jiwa distribution of power. Jadi pembagian wewenang secara jelas dan rinci itu memang tak gampang. Karena itu menyangkut kepercayaan pemimpin terhadap orang yang dipimpin.
“Saya yakin setiap orang yang diberikan kesempatan untuk memimpin OPD, orang tersebut akan memaksimalkan kinerjanya sesuai tujuan yang tertuang di RPJMD, ” pungkas Toni.
Hal senada disampaikan Moch Machmud. Menurut Ketua Fraksi Demokrat-Nasdem DPRD Kota Surabaya itu, dalam reposisi nanti jangan ada istilah kolusi dan nepotisme (KKN). Semua harus melihat kemampuan dan latar belakang pendidikan kepala OPD.
“Misalnya si A seorang insinyur pertanian terus ditempatkan di Dinas Pariwisata. Ini kan tidak cocok dan sekarang ini ada yang gitu-gitu,” ujar dia, Kamis (26/8/2021).
Selain itu, Machmud menyarankan kepada wali kota agar dalam mutasi tersebut diperhatikan track recordnya. Misalnya, si A pernah ada masalah di kepemimpinan sebelumnya. Ini harus diteliti dulu masalahnya apa? Jangan karena di pimpinan lama dianggap bermasalah, kemudian di pimpinan baru dianggap bermasalah terus.
“Padahal pada pimpinan lama itu si A dinilai bermasalah hanya karena tak bisa memenuhi selera pimpinan lama,”ungkap Machmud yang juga anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya ini.
Kemudian, lanjut Machmud, ada kepala dinas yang dinasnya bagus selanjutnya mendapat penghargaan dari pemerintah. Kepala dinas tersebut diundang untuk menerima penghargaan, tapi wali kotanya justru ngamuk-ngamuk karena bukan dirinya yang menerima.
“Nah persoalan seperti ini kan bukan prinsip, dan bukan kepala dinas yang salah. Jadi ini tak perlu dipersoalkan. Kalau orangnya mampu dan berprestasj ya harus dilihat lagi,” ucap dia.
Mantan wartawan ini juga setuju Walikota Eri Cahyadi bakal menerapkan sistem swastanisasi birokrasi, dimana kepala OPD yang tak mampu penuhi target diganti.
“Ini bagus. Kepala OPD dituntut bekerja dengan target. Sebenarnya semua harus dipasang target dulu, kalau enggak mampu mencapai ya harus diganti. Jika mampu ya lanjut. Jadi kinerjanya terukur, ” tandas dia. (KN01)