Surabaya (KN) – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menegaskan bahwa terorisme, radikalisme, dan berbagai bentuk kekerasan di Indonesia, termasuk tawuran pelajar, itu bukan hal yang ada secara tiba-tiba, melainkan hal itu disebabkan dampak negatif globalisasi yang mempengaruhi ekonomi dan kultural masyarakat.“Ada pengakuan menarik dari seorang pelaku terorisme di Solo kepada keluarganya bahwa dia dibayar Rp 5 juta untuk menjadi intelijen teroris di Lamongan, Surabaya, dan Madura. Jadi, terorisme itu bukan tiba-tiba, tapi ada yang membayar untuk target ekonomi dan kultural,” kata Wakil Sekretaris PWNU Jatim H Nur Hidayat di Surabaya, Minggu (28/10)
Ia mengemukakan hal itu dalam seminar Sumpah Pemuda bertajuk “Menangkal Radikalisme Pelajar di Jawa Timur untuk Menjaga Kedaulatan NKRI” yang digelar PW Ikatan Pelajar NU (IPNU) Jawa Timur, yang dihadiri sekitar 150 peserta dari kalangan aktivis IPNU se-Jatim dan pelajar SMP/SMA/MA/SMK di Jatim.
Menurut Nur Hidayat yang juga peneliti JPIP itu, solusi untuk menangkal terorisme, radikalisme, tawuran, dan berbagai bentuk kekerasan itu bukan melakukan perlawanan kepada mereka, namun cukup dengan melakukan gerakan sadar globalisasi.
Untuk kalangan pelajar, misalnya, adanya “Gangnam Style” dari Korea hendaknya disadari sebagai bentuk penjajahan ekonomi dan kultural, karena itu harus dilawan dengan berbagai kegiatan serupa tapi khas Indonesia. Contoh lainnya, para peneliti pangan harus melawan beras atau buah-buahan asing dengan varietas unggul dari Indonesia.
“Jadi, resepnya lawan globalisasi dengan lokalisasi, maksudnya segala sesuatu yang bersifat lokal. Saya berharap IPNU melakukan judicial review tentang organisasi ektra yang dilarang masuk sekolah, sehingga IPNU atau IRM bisa masuk untuk mencegah bibit radikalisme pelajar lewat organisasi intra pelajar dan watak kekerasan pelajar,” tukasnya. (ms)