Surabaya (KN) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya boleh bangga atas keberhasilanya menutup lokalisasi Dolly dan Jarak. Sayangnya, penutupan lokalisasi itu hanya simbolis karena Pemkot tidak mampu memberantas pertumbuhan prostitusi di Surabaya. Sebab, tidak sedikit pekerja seks komersial (PSK) eks lokalisasi terbesar di Indonesia itu lari ke luar daerah, seperti ke Manado. Mereka bukannya insaf dan pindah profesi, mereka tetap menjadi perempuan yang melayani pria hidung belang.
Fakta ini diungkapkan oleh Bagong Suyanto, pakar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Airlangga Surabaya saat hearing dengan Komisi D DPRD Surabaya, Rabu (18/1/2015). Dia mengaku pernah berkunjung ke Manado dan mengetahui adanya PSK eks Dolly dan Jarak bekerja di Manado dari koran setempat. “Saya baca ada PSK Dolly yang pindah ke Manado,” katanya.
Bagong memandang Pemkot belum berhasil memberantas prostitusi. Secara simbolis, Pemkot memang sudah menutup Dolly dan Jarak. Tapi, embrio PSK semakin tumbuh dengan subur. Dia meyakini, ditutupnya dolly dan Jarak hanya memicu tumbuhnya tempat prostitusi secara terselubung. Apa lagi persebaran penyakit HIV/AIDS semakin tidak terkontrol.
“Jadi ini akan menjadi bom waktu, saya nilai Pemkot tidak berhasil memberantas prostitusi di Kota Surabaya ini,” jelasnya.
Banyaknya PSK yang pindah tempat ke luar daerah tak lepas dari program pengentasan yang dilakukan Pemkot. Selama ini program yang disediakan Pemkot cenderung menyamaratakan kebutuhan warga terdampak penutupan Dolly dan Jarak. Program pelatihan, seperti menjahit, membuat kue tidak tepat sasaran. Apa lagi program tersebut hanya diberikan dalam waktu singkat. Sehingga, tidak cukup membekali warga terdampak untuk mencari pekerjaan atau membuka usaha.
“Variasi program kebijakan Pemkot tidak ada. Pelatihan itu bukan program yang cocok untuk diharapkan menjadi bekal. Orang diberi modal Rp 50 juta disuruh buka usaha saja bingung. Ini bukan soal mudah, penyelesaian masalah pasca penutupan sangat rumit,” ucapnya.
Artinya, lanjutnya, alih profesi bukan hal mudah. Dia menyarankan Pemkot melakukan pemetaan terhadap warga. Hal ini bertujuan untuk mengetahui warga terdampak, benar-benar terdampak, warga yang membutuhkan program Pemkot dan lainnya. Sehingga, setelah melakukan pemilahan, program yang dipilih sesuai dengan kebutuhan warga.
Bagong menegaskan, Pemkot harus memiliki database warga terdampak. Terutama warga yang tidak memiliki pilihan pekerjaan selain menggantungkan hidup dari keberadaan Dolly dan Jarak. Paling utama yang perlu ditolong adalah para PSK. PSK itu tidak cukup hanya dipulangkan ke daerah asalnya. Mereka perlu dipantau dan dibantu untuk mendapatkan pekerjaan yang halal.
“Saran saya, dewan dan pemkot duduk bareng untuk merencanakan exit program, kalau tidak maka masalah pasca penutupan dolly tidak akan cepat selesai,” terangnya.
Djoko Mursianto menambahkan, sejauh ini tidak ada pendataan dari pemkot tentang jumlah purel, tempat prostitusi terselubung pasca penutupan. Guru besar bidang Ekonomi Unair Surabaya ini menduga, pasca Dolly ditutup, bukan tidak mungkin rumah hiburan umum (RHU) menjadi tempat praktek pronstitusi terselubung. “Saya sepakat Dolly ditutup, cuma dampaknya itu harus ada penyelesaiannya yang baik,” tegasnya.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Agustin Poliana menginginkan masalah warga terdampak segera selesai. Dia menanyakan iktikad pemkot menyelematkan nasib warga terdampak sampai saat ini hanya sebatas pelatihan saja. Sementara warga yang menggantungkan hidup dari keberadaan Dolly, seperti tukang parkir, buruh cuci, dan PKL sulit mendapatkan pekerjaan lain.
“Setelah pelatihan tidak ada follow upnya, mestinya mereka ini harus dipantau terus,” kata Agustin. (anto)