KORAN NUSANTARA
Headline Nasional

Klarifikasi Profesor Harvard yang Disebut Ragukan Indonesia Mampu Deteksi Corona

 

Jakarta (mediakorannusantara.com) – Beberapa waktu lalu, seorang peneliti dari Harvard University, Profesor Marc Lipsitch, mengungkapkan kemungkinan telah adanya virus corona di Indonesia yang belum terdeteksi.

Pernyataan ini kemudian direspons oleh pihak-pihak di Indonesia, termasuk Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.

Namun, bagaimana kesimpulan tentang virus corona di Indonesia tersebut dapat diperoleh?

Peneliti Harvard yang melakukan riset tentang virus corona di Indonesia ini adalah Marc Lipsitch, seorang ahli epidemiologi di Harvard University.

Mengutip wawancara yang diunggah oleh salah seorang mahasiswi Harvard University, Nadhira Afifa dengan Profesor Marc Lipsitch di YouTube, riset yang dilakukan adalah prediksi dengan pemodelan matematis.

Atas dasar tujuan tersebut, pada penelitiannya, dihitung hubungan statistik antara jumlah pengunjung ke sebuah negara dengan jumlah kasus yang terdeteksi.

“Dari perhitungan ini, diperoleh rata-rata secara international bahwa ada 14 wisatawan atau pengunjung per hari, diasosiasikan dengan munculnya satu kasus yang terdeteksi, yang kami pantau selama periode penelitian kami,” lanjutnya.

Berdasarkan standar tersebut, Indonesia diduga sudah memiliki lima kasus virus corona. Namun, hingga kini belum ada satu pun kasus virus corona yang terdeteksi di Indonesia.

Profesor Lipsitch mengatakan bahwa di awal penelitian, ia tidak memfokuskan pada negara tertentu, tetapi seluruh negara.

“Tujuan kami bukan untuk menilai kualitas dari sebuah negara, tetapi sebagai contoh dalam situasi ini, ketika seharusnya kasus infeksi diduga telah ada dan belum terdeteksi,” jelas Profesor Lipsitch.

Hasil temuan di atas yang menyebutkan Indonesia disebut sebagai salah satu titik awal penelitian.

Selain itu, dalam penelitiannya, Profesor Lipsitch juga menyebutkan bahwa negara yang telah mendeteksi kasus virus corona seperti Thailand, juga kemungkinan masih memiliki banyak kasus yang tidak berhasil dideteksi.

“Semakin saya mendalami ini, saya juga menemukan bahwa bahkan Singapura yang memiliki frekuensi deteksi paling tinggi dibandingkan negara lain, menemukan lebih banyak kasus dari yang kami duga,” tambahnya.

Profesor Lipsitch mengatakan bahwa Singapura juga menemukan masih banyaknya kasus yang terlewat karena tidak dapat dideteksi. Misalnya seperti kasus awal COVID-19 yang masih di tahap introduksi atau belum menunjukkan gejala.

“Jadi, adanya kasus yang terlewat bukanlah penghinaan karena setiap negara mungkin saja mengalaminya. Ini hanyalah sebuah peringatan atau alarm,” ungkap Profesor Lipsitch.

Ia mengungkapkan kondisi ini patut diwaspadai dan tanggapi.

“Seperti apa yang saya katakan ke banyak orang, fungsi dari Public Health adalah untuk menemukan potensi masalah dan memperingatkan pihak yang mungkin akan terkena dampaknya,” tuturnya.

“Tidak berarti potensi masalah selalu akan menjadi kenyataan, tapi sudah sepatutnya kita memberi ‘alarm’,” tambahnya.(kc)

Related posts

Kedatangan Mayjen TNI Rafael Granada Baay Disambut Ratusan Prajurit dan Persit di Lingkungan Kodam Brawijaya

kornus

Kemnaker Gelar Workshop Atasi Tantangan Kesehatan Kerja di Masa Depan

DPRD Jatim Optimis Perda BUMD Bisa Berjalan Maksimal

kornus