Surabaya (KN) – Awal tahun 2015, kabar tidak sedap muncul dari dunia pendidikan Surabaya. Aksi pungli masih saja terjadi di dunia pendidikan, meski baru saja Ombusmen Indonesia memberikan ‘warning’ ke Pemkot Surabaya terkait pelayanan publiknya yang belum bersih dari pungli. Namun masih saja ada oknum yang nekat melakukannya. Bahkan pekan lalu Walikota Surabaya juga telah mewngumpulkan seluruh jajaran SKPD, Camat dan Lurah diberikan arahan dan ‘disemprot’ habis-habisan terkait larangan pungli, namun nyatanya hal itu masih terjadi dan dilanggar.
Sepertinya ‘marahnya’ Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini di gedung Sawunggaling tersebut tidak digubris oleh bawahanya. Buktinya, seperti kasus pungli terhadap calon walimurid yang terjadi Jumat (2/1/2015) di SMAN 15, Jl Dukuh Menanggal Selatan, Surabaya.
Pungli ini berawal adanya siswa dari Jakarta yang mutasi di Surabaya mengikuti tugas orang tuanya. Krplplogisnya, pada 26 Desember 2014 lalu, Mayor (Mar) TNI AL, Sidik yang beralamat di kompleks Marinir Jl Opak, Surabaya mendatangi Komisi D DPRD Surabaya. Ketika itu, kedatangan Mayor Sidik ke Komisi D untuk melaporkan terkait perihal proses mutasi anaknya dari SMA di Jakarta ke Surabaya, dan ditemui oleh anggota Komisi D Baktiono. Anaknya kelas 10 IPS, namun mutasi di SMAN 15 tersebut diharuskan membayar uang adminitrasi sebesar Rp 30 juta.
“Pak Sidik berencana untuk mutasikan anaknya dari Jakarta ke Surabaya. Dia memilih untuk ke SMAN 15 di kawasan Jl Dukuh Menanggal Selatan. Tapi oleh pihak SMA 15 dimintai uang sekitar Rp 30 juta,” terang Baktiono.
Diungkapkan Baktiono menirukan pengakuan Sidik, bahwa saat datang ke SMA untuk proses mutasi harus menyetorkan uang senilai Rp 30 juta. Orang tua dari Eka Abrar Darmawan tersebut tentu saja kaget dan minta pendapat ke anggota dewan. “Kemudian kita sarankan untuk datang lagi ke SMA 15,” tutur Baktiono.
Beberapa hari kemudian, Sidik dan anaknya datang ke SMA 15 dan waktu itu langsung dites oleh pihak sekolah. Namun tes yang dilakukan kepada Eka adalah tes bidang studi IPA, padahal Eka berasal dari bidang studi IPS. Tentu saja Eka kesulitan dalam menghadapi tes tersebut. Sedangkan ujung-ujungnya yakni ditawari untuk menyelesaikan adminitrasi dengan nilai puluhan juta rupiah.
“Beberapa hari lalu setelah anak pelapor tes di SMAN 15, pelapor balik lagi ke dewan untuk bertemu dengan saya. Ternyata pihak sekolah tetap menawari uang mutasi,” ungkap politisi asal PDIP ini.
Berbekal pengakuan pelapor tersebut, akhirnya Jumat (2/1/2015) pagi, Baktiono dan Budi Leksono anggota Komisi D lainnya serta pelapor menyusun skenario. Dengan diback up anggota Intel Polrestabes Surabaya, mereka lantas bergerak ke SMAN 15.
Semula rombongan beberapa mobil ini, pagi kemarin meluncur ke SMA 15. Awalnya Budi Leksono masuk lebih dulu dengan berpura-pura akan mutasi anaknya ke SMAN 15. Namun oleh pihak SMA 15 ditolak, karena mutasinya lokal.
“Anak saya sekolah di SMA kompleks jadi tidak bisa mutasi, padahal saya sudah bawa uang. Kalau pihak SMAN 15 minta langsung saya bayar,” tandas Budi Leksono.
Berhubung skenario pertama gagal, kemudian dilanjutkan dengan skenario kedua. Mayor Sidik langsung masuk ke SMAN 15. Sedangkan Baktiono, Budi Leksono bersama anggota polisi dari Polrestabes Surabaya stand by di kendaraan di deket sekolah.
Pelapor Mayor Sidik yang sebelumnya sudah janjian dengan pihak sekolah, lantas menuju ke ruangan Kasek. Namun oleh Kasek diarahkan untuk menemui Wakasek Nanang.
“Tanpa banyak bicara, Sidik bicara kalau dirinya hanya punya uang Rp 3 juta. Namun oleh Wakasek diminta untuk menggenapinya Rp 5 juta. Sedangkan deal-nya sebenarnya Rp 25 juta. Begitu uangnya Rp 3 juta diserahkan oleh pelapor dan sudah diterima oleh wakasek, pelapor langsung menghubungi saya,” jelas Baktiono.
Begitu HP Baktiono berdering, secepat kilat anggota dewan bersama anggota polisi yang sudah stand by merangsek masuk ke ruangan wakasek. Terkejut tiba-tiba banyak orang yang masuk ke ruangannya, wakasek sempat terdiam.
Saking paniknya saat ditanya oleh salah satu polisi, kok mutasi pakai uang dan imbalan, wakasek Nanang menjawab sekenanya. “Itu ada aturannya pak,” ujar wakasek singkat.
Karena tertangkap tangan, selang beberapa saat kemudian, wakasek langsung dibawa untuk diserahkan ke Polrestabes Surabaya. Sedangkan Kasek yang sebelumnya ada di sekolah, spontan raib tidak ada di ruangan. Dicari di beberapa ruangan juga tidak ada. Namun mobilnya masih terlihat di halaman sekolah. Tanpa menunggu Kasek yang tidak tahu keberadaanya, polisi langsung membawa wakasek ke Polrestabes.
Terkait kejadian tersebut, Baktiono mengatakan bahwa sebetulnya setelah laporan awal, pihaknya sudah lapor ke Diknas. Namun oleh pihak Diknas sepertinya laporan terkait permintaan uang mutasi di SMAN 15 tersebut tidak gubris. (anto)