Hal itu sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan jajarannya mengenai “Kinerja Aparatur Pemerintahan Desa Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa keberhasilan pembangunan di desa sangat ditentukan oleh kinerja perangkat desa terkait.
“Kunci utama keberhasilan berbagai program yang ada di desa, sangat dipengaruhi oleh bagaimana kinerja aparatur pemerintahan desa dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara terukur, transparan, akuntabel, profesional, efektif, dan efisien,” kata Yusharto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.23/8
Ia mengatakan keberadaan otonomi desa memungkinkan masyarakat desa dapat melakukan pembangunan berbasis potensi yang dimiliki desa. Sebab, dinamika otonomi desa berbeda dibanding otonomi di provinsi, kabupaten atau kota.
Menurutnya, otonomi di desa didasarkan pada rekognisi atau pengakuan dan penghormatan dari negara atas asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat.
“Ketentuan ini membuka peluang bagi desa menggunakan otoritasnya untuk memanfaatkan potensi desa, mengelola pembangunan desa secara lebih mandiri dan mempercepat peningkatan kesejahteraan warga desa,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Strategi Kebijakan, Kewilayahan, Kependudukan dan Pelayanan Publik TR. Fahsul Falah yang berharap hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan rekomendasi kebijakan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
“Hasil penelitian ini harapannya menjadi masukan dan rekomendasi kepada Bapak Menteri Dalam Negeri serta komponen Kementerian Dalam Negeri terkait dalam upaya identifikasi pentingnya strategi kebijakan pengukuran kinerja aparatur pemerintahan desa,” ungkap Fahsul.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Triyuni Soemastono yang hadir sebagai narasumber mendukung pernyataan Yusharto.
Dia menilai dalam menjalankan tugas, perangkat desa perlu memiliki sikap critical thinking atau kemampuan untuk bisa berpikir lebih jernih dan lebih rasional. Hal ini baik terhadap apa yang harus dilakukan maupun terhadap apa yang harus dipercaya.
“Misalnya, bagaimana kemampuan perangkat desa mengidentifikasi masalah desanya sendiri harus mampu secara objektif dan komprehensif. Juga kemampuan perangkat desa dalam mengatasi masalah yang teridentifikasi,” jelas Triyuni.
Adapun Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sadu Wasistiono mengatakan desa akan sulit mengalami kemajuan apabila perangkat desanya masih memiliki paradigma yang salah mengenai pengelolaan dana desa.
“Dana yang masuk ke desa cenderung digunakan untuk membeli produk-produk dari luar desa, bukan memanfaatkan atau mengembangkan potensi yang dimiliki desa untuk memenuhi kebutuhannya,” ucap Sadu.
Padahal, dana desa yang masuk semestinya diputar di desa untuk mendukung perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan tenaga, bahan, dan produk setempat. Jika dana desa yang diperoleh tidak diputar untuk kegiatan perekonomian di desa, maka akan banyak masyarakat desa memilih pindah ke kota karena minimnya kegiatan perekonomian di desa.
“Waktu kita menyusun Undang-Undang nomor 6 (Tahun 2014) itu ada 28,2 juta penduduk miskin yaitu 20 juta di desa, 8,2 juta di perkotaan. Tetapi begitu ditelusuri 8,2 (juta) itu penduduk miskin desa yang pindah ke kota, yang secara statistik didaftarkan sebagai penduduk miskin kota sebetulnya dia orang desa, ini salah konsep pembangunan,” tegasnya. ( wan/an)