KORAN NUSANTARA
indeks Nasional

Jokowi Obral Kursi Menteri, Perkokoh Oligarki dan Tumbuhkan Korupsi


Yogyakarta (MediaKoranNusantara.com) – Parade pemanggilan nama-nama calon menteri ke Istana Kepresidenan dalam dua hari ini menebar ketakutan tersendiri bagi kalangan akademisi. Kaum yang kerap dicitrakan dengan kacamata tebal dan berada di menara gading ini mulai bersuara terkait kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemicunya, obral kursi menteri yang sednag dilakukan Jokowi (Joko Widodo).

Apa yang dipertontonkan Jokowi saat ini disebut sebagai upaya bagi-bagi kekuasaan yang mengancam demokrasi. Tindakan tersebut bisa mengakibatkan hampir tiadanya kekuatan penyeimbang.

“Jadi menurut saya, bagi-bagi kursi ini merupakan agenda oligarki yang tidak lagi memiliki fatsun politik. Dampaknya kekuasaan pemerintah hampir tanpa kontrol apapun,” kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Selasa (22/10/2019).

Bergabungnya Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra secara matematis hanya menyisakan PKS sebagai kekuatan oposisi, sementara partai lain seperti Demokrat dan PAN belum jelas posisinya. Kondisi ini dianggap tak sehat bagi demokrasi.

“(Padahal) kekuasaan tanpa kontrol potensial terjerumus kepada penyimpangan, itu kaidah universal. Termasuk potensi terjadinya korupsi di eksekutif maupun legislatif semakin terbuka lebar,” tutur Zaenur.

Menurut Zaenur, satu-satunya kekuatan kontrol pemerintah yang tersisa hanyalah rakyat. Namun perlawanan dari elemen sipil bukan berarti tanpa ancaman, sebab kekuatan sipil kerap direpresi melalui undang-undang ITE.

“Hanya rakyat kesempatan satu-satunya yang bisa melakukan kritik dan kontrol (terhadap pemerintahan). Itu pun direpresi misalnya melalui UU ITE,” sebutnya.

Selain itu, Pukat UGM juga menilai apa yang ditempuh Jokowi saat ini berpotensi menumbuhkan korupsi di segala lini. Pengawasan di legislatif tidak akan efektif dan bahkan disebut layaknya drama.

“Karena keputusan penting termasuk dalam bidang anggaran lebih mudah diambil, tanpa ada yang menguji. Selain itu fungsi pengawasan legislatif juga hanya akan sekadar drama saja, karena semua sudah bergabung dalam satu kekuasaan,” ujar Zaenur.

Menurut Zaenur, tidak seimbangnya kekuatan di dalam dan luar pemerintah berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai lini. Di tambah lagi adanya upaya pelemahan secara sistemik terhadap lembaga antirasuah KPK oleh para elite politik.

“Kombinasi antara bagi-bagi kursi dan pelemahan KPK bisa semakin memudahkan korupsi oleh para pejabat negara. Pelemahan KPK nyata, ke depan KPK akan di bawah pengaruh Presiden melalui Dewas (Dewan Pengawas),” paparnya.

Zaenur menduga Presiden Jokowi telah mengetahui potensi korupsi yang diakibatkan kekuatan tanpa kontrol. Namun karena yang dikejar Jokowi hanyalah pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, akhirnya ia mengabaikan potensi itu.

“Jokowi tidak ingin dikontrol oposisi dan KPK, tujuannya stabilitas. Tetapi itu mengancam demokrasi dan potensial menyuburkan korupsi,” tegasnya.

Dalam kondisi seperti itu, lanjut Zaenur, satu-satunya kekuatan kontrol pemerintah yang tersisa hanyalah rakyat. Namun perlawanan dari elemen sipil bukan berarti tanpa ancaman, sebab kekuatan sipil kerap direpresi melalui undang-undang ITE.

“Hanya rakyat kesempatan satu-satunya yang bisa melakukan kritik dan kontrol (terhadap pemerintahan). Itu pun direpresi misalnya melalui UU ITE,” sebutnya.(dtc/ziz)

Related posts

Wamendag Pastikan Sektor Perdagangan Amankan Ekonomi Nasional

Buka Virtual Expo SMA Double Track, Gubernur Khofifah Gagas Akses Perbankan Bagi Millenial

kornus

Awas, Nyamuk Penyebab DB shifting Sore