Jakarta (MediaKoranNusantara.com) – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (kemenkeu) menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk semua golongan, baik peserta penerima bantuan iuran (PBI) maupun umum per September 2019. Penyesuaian tarif iuran diusulkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mencapai Rp 160.000 per bulan per jiwa untuk kelas 1 peserta umum atau non PBI. Jumlah kenaikannya mencapai dua kali lipat dari sebelumnya yang sebesar Rp 80.000.
Sedangkan kelas 3 baik PBI dan non PBI diusulkan menjadi Rp 42.000 per bulan per jiwa atau naik dua kali lipat untuk peserta PBI yang sebelumnya Rp 23.000 dan non PBI sebesar Rp 25.500.
Awalnya rencana kenaikan tarif ini akan diterapkan pada awal 2020. Namun Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani menyebut kenaikan tarif berlaku 1 September 2019.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dirancang pemerintah ini merupakan buntut dari defisit sekitar Rp 3 triliun yang saat ini sedang terjadi. Naiknya iuran BPJS Kesehatan dinilai memberatkan masyarakat kalangan bawah.
Kalangan praktisi kedokteran menyarankan pemerintah untuk memilih penggunaan jenis obat yang masuk list cover BPJS daripada kebijakan menaikkan iuran. Menurut dokter bedah onkologi di RS MMC, dr. Farida Briani Sobri, SpB(K)Onk, Indonesia perlu menerapkan obat biosimilar. Obat ini bekerja seperti obat bermerek layaknya trastuzumab bagi kanker payudara HER2+ dengan harga yang jauh lebih terjangkau. India merupakan negara yang menerapkan obat biosimilar lebih dulu.
“Ada support secara birokrasi dan politis di situ. Okelah trastuzumab harganya mahal, tapi sebetulnya ada banyak hal lain yang bisa dihemat,” kata Farida.
Selain pengadaan obat biosimilar, memberlakukan cost sharing seperti yang pernah diterapkan di masa ASKES dulu juga dapat diperhitungkan, menurut konsultan hematologis dan onkologi medis RS Kanker Dharmais dr Ronald A. Hukom, SpPD-KHOM.
Prosedur cost sharing adalah memberi bantuan jaminan kesehatan berdasarkan kemampuan finansial pasien. Sehingga tidak semuanya ditanggung oleh pemerintah. Hal ini sudah diterapkan di Singapura.
“Cost sharing saat ini mungkin yang paling tepat. Caranya bagaimana ya sebenarnya pengalaman sudah ada,” kata dr Ronald.(dtc/ziz)