Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Dilansir dari data Kementerian Sosial RI pada 2019, persentase masyarakat dengan gangguan pendengaran di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun fasilitas ruang pemeriksaan, tenaga ahli, serta alat yang tersedia masih sangat terbatas. Maka dari itu, Institut Teknologi Sepuluh Nopember bersama Universitas Airlangga (Unair) dan RSUD dr Soetomo mengembangkan alat pemeriksaan pendengaran Audiometri yang portable dan sesuai dengan standar kesehatan.
Diinisiasi oleh Laboratorium Vibrasi dan Akustik (Vibrastik) Departemen Teknik Fisika ITS serta didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), alat audiometri ini dikembangkan untuk memonitor level pendengaran seseorang guna diklasifikasikan sebagai subjek dengan gangguan pendengaran atau berpendengaran normal. “Alat ini memantau ambang batas pendengaran seseorang dan umumnya pendengaran normal berada di 60 desibel (dB),” jelas kepala Laboratorium Vibrastik ITS Dr Dhany Arifianto ST MEng.
Dhany menambahkan, alat audiometri dirancang portable dan dapat digunakan di ruang terbuka. Hal ini dilatarbelakangi karena terbatasnya ruang pemeriksaan yang layak serta pemeriksaan di ruang yang sempit dapat membahayakan pasien dengan penyakit tertentu seperti pasien Tuberculosis Multi Drug Resistant (TB MDR). “Dengan ini, pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan di mana saja,” ungkapnya saat melaporkan progress perkembangan alat secara hybrid di Harris Hotel & Conventions Gubeng, Surabaya, Rabu (24/8/2022).
Alat ukur pendengaran ini juga dirancang user-friendly sehingga dapat digunakan secara mandiri oleh pasien. Cara penggunaan alat yang mengadopsi metode three force choice ini juga sangat mudah. Pada alat ukur terdapat tiga tombol, bila naracoba mendengar suara saat lampu LED alat menyala, maka naracoba akan menekan salah satu dari tiga tombol di bawah lampu yang menyala. “Satu kali pengambilan data memakan waktu kurang lebih 10 menit,” papar Dhany.
Lebih lanjut, Dhany mengatakan bahwa hasil dari pengukuran alat berupa audiogram dapat diakses melalui alat elektronik yang sudah terhubung dengan alat audiometri menggunakan sambungan internet wi-fi. Audiogram ini nantinya akan dibaca oleh pihak dokter, dan dokter terkait juga yang menentukan apakah pasien mengalami gangguan pendengaran atau tidak berdasarkan grafik level pendengaran.
Dhany menambahkan, alat yang sudah dikembangkan selama dua tahun ini sudah diujicobakan ke 53 orang berpendengaran normal dan diuji di enam frekuensi berbeda yakni 250, 500, 1.000, 2.000, 4.000, dan 8.000 Hertz (Hz). Tak hanya itu, pengembangan audiometri ini dikontrol langsung oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya untuk memastikan keamanan produk diimplementasikan langsung ke pasien.
Terakhir, Dhany berharap bahwa alat ukur ini akan terus dikembangkan dan diperbaharui fitur-fiturnya agar memiliki akurasi yang lebih tinggi serta lebih cepat saat melakukan pengambilan data. “Harapannya alat ini dapat digunakan masyarakat luas terutama di puskesmas dengan keterbatasan alat,” tuntasnya. (jack)