Jakarta, mediakorannusantara.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penentuan royalti atau imbalan atas hak cipta harus diatur secara rinci melalui peraturan perundang-undangan. Penegasan ini merupakan poin utama dalam putusan Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/12).
Melalui putusan tersebut, MK menjawab kegelisahan para pemohon, yakni musisi Armand Maulana beserta 28 penyanyi dan pencipta lagu lainnya, mengenai ketidakjelasan makna frasa “imbalan yang wajar” dalam UU Hak Cipta.
”Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘imbalan yang wajar sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Mahkamah menilai, penggunaan kata “wajar” tanpa parameter yang jelas telah menimbulkan ruang penafsiran luas dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK memandang perlu adanya penegasan bahwa besaran royalti wajib mengacu pada tarif resmi yang ditetapkan oleh lembaga atau instansi berwenang.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, proses penetapan tarif royalti ke depannya harus melibatkan partisipasi aktif para pemangku kepentingan. Selain itu, kebijakan ini tidak boleh mengabaikan hak masyarakat untuk menikmati karya cipta dengan cara yang mudah dan terjangkau.
Dalam pertimbangannya, MK juga menekankan peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK diwajibkan melakukan koordinasi serta menetapkan besaran royalti berdasarkan prinsip hak cipta dan kelaziman yang berlaku.
”Pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti yang terukur dan proporsional, sehingga tidak memberatkan pengguna ciptaan maupun masyarakat luas,” tutur Enny.
Sebagai informasi, saat ini tarif royalti sebenarnya telah tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Namun, gugatan ini diajukan Armand Maulana dkk untuk memastikan bahwa mekanisme blanket license (lisensi kolektif) memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan transparan demi melindungi hak ekonomi para seniman di Indonesia.
