KORAN NUSANTARA
ekbis Headline indeks

Hadapi Inflasi, Wagub Jatim Beri Solusi Soal Volatile Food

Malang (MediaKoranNusantara.com) – Salah satu komponen yang mempengaruhi inflasi adalah volatile food atau komponen bergejolak, terutama di kelompok bahan makanan yang musim panennya bergantung terhadap cuaca. Menghadapi hal ini, Wakil Gubernur Jatim, Emil Elestianto Dardak meminta perlunya mengelola manajemen permintaan atau demand management untuk mengatasi hal ini.Usulan tersebut disampaika Wagub Jatim saat menghadiri Capacity Building Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) se-wilayah Kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang, di Hotel Aria Gajayana Kota Malang, Senin (4/3/2019).

Emil, sapaan akrab Wagub Jatim ini mengatakan, salah satu contoh volatile food adalah cabai dan bawang merah. Bila musim hujan, maka produksi cabai turun. Untuk itu, solusi yang harus dilakukan adalah membuat sambal instan atau cabai kering saat produksi melimpah, sehingga saat produksi turun, ibu rumah tangga bisa memilih sambal instan yang harganya relatif lebih murah.

“Kita harus mempertimbangkan produksi cabai ini, karena saat panen petani juga sedih karena harganya hancur. Jadi kita harus mengolah produk yang punya extended life seperti cabai kering atau sambal, kalau bawang merah ya dibuat bawang goreng,” katanya.

Untuk itu, Emil meminta agar TPID jangan hanya fokus pada inflasi yang timbul karena tekanan pada supply atau cost push inflation tapi juga demand pull inflation, yang terjadi karena tingginya permintaan barang. Demand pull inflation ini bisa juga disebut permintaan total lebih besar dari kapasitas penerimaan. Untuk itu ia meminta  demand management dilakukan agar semua sadar ada pilihan yang lebih baik ketika permintaan tersebut tinggi.

“Kedua jenis inflasi ini harus dikelola sebagai solusi yang lebih baik tergantung keadaan. Misal saat panen komoditi tertentu melimpah, masyarakat diajak mengkonsumsi komoditas tersebut, atau menyimpan komoditas tersebut saat musim berganti. Sehingga demand management ini bisa membantu,” katanya.

Menurutnya, over supply bisa saja terjadi karena tidak adanya komunikasi antar petani. Misal saat cuaca baik, di berbagai daerah menanam cabai merah secara bersamaan sehingga ada over produksi.  Menurutnya, dalam program Nawa Bhakti Satya ada program ‘Permaisuri’ atau Pelayanan Informasi Super Koridor yang mengintegrasikan hulu dan hilir.

“Kita berharap setiap orang ketika mau menanam melihat keseimbangannya dulu, misal prevalensi curah hujan seperti ini maka produksi akan turun sekian, dan juga faktor lainnya,” jelas orang nomor dua di Jatim tersebut.

Menurut Emil, semua langkah ini penting mengingat Jawa Timur menjadi pusat produksi berbagai komoditi bahan pokok, kecuali kedelai dan bawang putih. Sebagai contoh, susu Jatim berkontribusi terhadap 55 persen susu nasional, dan telur ayam berkontribusi 30 persen terhadap telur nasional. Maka bila ada gangguan inheren pada sektor pertanian ini, dampaknya bisa berpengaruh terhadap Indonesia.

Emil, mengatakan,  permasalahan lain yang dihadapi adalah ketika surplus jagung. Hasil panen jagung sebagian besar untuk peternakan. Selama ini, Jatim telah memiliki Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Barang Pokok atau SISKAPERBAPO yang lebih banyak melihat neraca konsumen.

“Untuk itu, perlu dikembangkan pola business to business (b to b) antar petani. Misal dari petani jagung di Tuban kemudian mengirim untuk peternak ayam di Blitar,” katanya.

Ditambahkannya, menghadapi bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri 2019, Emil yakin dan optimis harga bahan pokok di Jatim relatif terkendali. Dengan menggunakan kerjasama dan langkah-langkah yang efektif seperti tahun lalu, harga tahun ini bisa terjaga dan stabil.

“Kata kuncinya bagaimana sistem informasi yang kita miliki seperti  SISKAPERBAPO  yang merupakan input dari pedagang akan terus kita pantau untuk melihat ada gejala atau tidak, kemudian kita cocokkan dengan ketersediaan bahan pangan baik di Jatim maupun di luar Jatim,” katanya.  Menurutnya informasi ini harus terbuka dan dibangun komunikasi intensif antar pihak terkait. Empat hal yang harus menjadi kunci menurutnya adalah 4K, yakni keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi yang efektif.  “4K ini menjadi prinsip yang dijalankan oleh Jatim dengan ikhlas bersama dengan BI dan semua elemen terkait untuk bisa mewujudkan harga pangan dan menjaga inflasi relatif stabil,” katanya

Sementara itu, Kepala Perwakilan BI Provinsi Jawa Timur, Difi Ahmad Johansyah mengatakan, pencapaian inflasi Jatim menjadi role model perekonomian nasional. Dimana inflasi Jatim selalu di bawah nasional dan pertumbuhan ekonomi selalu di atas nasional. Tidak hanya itu, TPID Jatim juga menjadi role model TPID provinsi lain dan memiliki roadmap pengendalian inflasi.

“Apalagi Jatim menjadi pemasok sembako di daerah lain khususnya wilayah Indonesia timur, jadi kalau inflasi Jatim stabil, maka bisa menopang atau mempengaruhi daerah lain,” katanya.

Menurutnya, secara nasional volatilitas nilai tukar pada tahun 2018 lalu sudah mulai stabil. Untuk itu ia memperkirakan inflasi ke depan masih relatif stabil, ditambah likuiditas perbankan juga sudah mulai melonggar. (KN04)

 

Related posts

Kapal Inkamina 779 Terbakar dan Tenggelam di Perairan Tobelo Maluku Utara

redaksi

KPK Ingatkan pejabat tidak Korupsi Anggaran untuk Kesejahteraan Petani

Panglima TNI Terima Kunjungan Kehormatan Pangab Australia

kornus