KORAN NUSANTARA
Headline indeks Nasional

Dzikir Serentak Kejaksaan se-Indonesia Dapat Anugerah Piagam MURI

Jakarta (MediaKoranNusantara.com) – Dzikir dan istiqosah akbar serenta digelar Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia. Ini dalam rangka HUT Adhyaksa ke-58, Jumat (20/7/2018). Acara diikuti oleh seluruh aparatur sipil negara (ASN) kejaksaan RI di seluruh Indonesia.Selain itu hadir pula para ulama, habaib dari berbagai daerah, pimpinan Ormas dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW). Yang menarik, dzikir akbar bertema “Doa dan Asa Kejaksaan untuk Indonesia, Membangun Sinergi Menjaga Negeri”, mendapat piagam Museum Rekor Indonesia (MURI) dan diterima langsung oleh Jaksa Agung RI HM Prasetyo.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Jan S Maringka mengumumkan acara itu di media sosial (Medsos). “Mari kita putihkan Kejaksaan, melalui acara doa dan asa Kejaksaan untuk Indonesia – Dzikir bersama para kyai besar dan habib di lapangan Kejaksaan RI mulai jam 07.00 WIB. Bersama-sama kita pecahkan rekor MURI untuk pelaksanaan dzikir bersama ASN yang terbesar dan tersebar di seluruh Indonesia, saksikan melalui vicon di halaman Kejati masing-masing atau aula Kejari masing-masing melalui Metro TV dan TV One. Satu hati menjaga negeri #HBA-58tahun2018″.

Terkait Dzikir akbar di lingkungan Kejaksaan itu, Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Dr H Ahmad Zahro MA, menilai hal itu sebagai kegiatan bermuatan politis. Bukan soal siapa penyelenggaranya (Korps Adhyaksa), bukan pula soal kontennya yang tidak baik, tapi lebih pada muatannya.

“Sulit untuk tidak dikatakan (dzikir akbar Kejaksaan) ada motif (politik),” kata Ahmad Zahro yang juga salah satu Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya ini, Sabtu (21/7/2018).
Zahro menyebut, dalam setiap kegiatan keagamaan tidak boleh ada ‘embel-embel’ tertentu, seperti beribadah demi mendapatkan rekor MURI. “Aneh saja, dzikir kok di-MURI-kan,” kata Zahro.

Memang sulit untuk dipungkiri, Kejaksaan Agung disebut kepentingan politis karena pimpinannya (HM Prasetyo) adalah mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Partai Nasdem. Sehingga upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung selalu dinilai hanya menjadi alat politik semata.

Sementara Direktur Institute for Javanese Islam Research, Akhol Firdaus M.Pd M.Ag menilai, dzikir serentak Kejaksaan di seluruh Indonesia sangat mudah ditafsirkan berdimensi politik karena saat ini memang tahun politik. “Tentu saja, dimensi politik tidak selalu dikaitkan dengan politik elektoral, tetapi lebih merupakan politik pewacanaan, terkait dengan agenda-agenda strategis dalam mengarusutamakan ide-ide kontra radikalisme,” kata Akhol.

Ditambahkan Akhol, Islam sebenarnya tidak berbeda dengan agama lain yang selalu menjadi instrumen politik. “Islam tidak berbeda dengan agama lain yang bisa saja digunakan sebagai instrumen politik bagi segenap kalangan yang cenderung tidak memiliki platform politik yang jelas,” terang ahli filsafat Islam ini.

Meski demikian, dalam konteks kontra radikalisme, Akhol menilai, para elite politik seharusnya dapat mengembalikan narasi moderasi menjadi strategi pewacanaan yang baik karena mayoritas ulama juga menegaskan bahwa Islam itu sendiri bersifat moderat.

“Kita mengenal model negara yang bukan negara sekuler juga bukan negara agama, dan Indonesia itu negara Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Itulah kesepakatan kita sebagai bangsa dan akan selalu seperti itu. Konsekuensi itulah yang terus mewarnai Indonesia kontemporer sebagai negara yang dibangun di atas kesepakatan,” tutupnya. (KN03)

Related posts

Pasukan Khusus TNI Berhasil Menyusup ke Daerah Musuh

kornus

Prodi S2, S1 dan D3 STTAL Tahun 2021 Resmi dibuka

Keberadaanya Bermasalah, Bawas PD Pasar Ngeyel Lakukan Rekrutmen Direksi

kornus