Surabaya (KN) – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam waktu dekat ini berencana menghapus Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Kopertis dinilai semakin membuat kesenjangan antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebagai gantinya dibentuklah Badan Layanan Perguruan Tinggi, Badan ini bersifat lebih umum karena akan menaungi swasta dan negeri.
“Kita akan ubah Kopertis jadi lembaga layanan PTN dan PTS yang buka setiap hari kerja Senin sampai Jumat. Bukan hanya hari-hari tertentu saja,” kata Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir saat menghadiri wisuda Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya, di Islamic Centre Jl Dukuh Kupang, Surabaya beberapa hari lalu.
Langkah ini dianggap penting karena, menurutnya koordinasi perguruan tinggi akan lebih mudah dan dalam rangka optimalisasi lembaga pemerintahan yang ada di wilayah. Tidak hanya itu, ke depan, Muhammad Nasir juga ingin agar setiap perguruan tinggi besar baik negeri maupun swasta memiliki perguruan tinggi kecil binaan.
Strategi tersebut ditujukan agar tidak ada anggapan miring pada salah satu universitas. Perguruan tinggi kecil yang baru beridiri bisa melangkah lebih cepat untuk berkembang. “Dengan sistem binaan ini, untuk operasionalnya PTN dan PTS akan dibiayai negara,” ungkapnya.
Menyatunya Dikti dengan Kemenristek, Nasir menjelaskan bahwa produk inovasi hasil karya perguruan tinggi akan dioptimalkan keberlanjutannya. Salah satu langkah yang kini disiapkan pihaknya adalah dirinya sedang mengupayakan untuk menghubungkan perguruan tinggi dengan dunia usaha.
“Para Rektor PTN dan PTS di seluruh Indonesia sudah saya panggil di Jakarta untuk berkoordinasi masalah ini. Terutama mewadahi karya inovasi perguruan tinggi yang layak diproduksi secara massal,” terang Nasir.
Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko saat dikonfirmasi Senin (24/11/2014) menyatakan, sebenarnya penghapusan Kopertis menjadi badan layanan sudah tertuang dalam UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Namun, apabila saat ini akan mendirikan badan baru, maka kebutuhan anggarannya bakal tinggi. “Makanya, lebih baik digabung jadi satu antara negeri dan swasta dalam sebuah badan yang sudah ada,” jelasnya.
Sebelum badan itu dibentuk, pihaknya mengusulkan agar Kemenristekdikti lebih dulu mengubah nomenklatur menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Menurut Budi, perubahan ini cukup vital karena terkait kucuran anggaran yang diberikan pemerintah kepada kementerian.
Dia menjelaskan, saat Dikti masih berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diberi anggaran sebesar Rp 62 triliun. Padahal, karyawan di Dikti kurang lebih 300 orang. Di sisi lain, Kemenristek hanya dialokasikan anggaran Rp 8 triliun dengan jumlah karyawan sebanyak 1.500.
Ia mengungkapkan ada kekhawatiran bila di dalam nomenklatur kata Ristek diletakan di depan, maka anggaran Kemenristekdikti menjadi rendah. Berbeda saat Dikti diletakkan sebelum Ristek. “Kalau anggaran rendah, maka perguruan tinggi swasta (PTS) bakal semakin diabaikan. Maka dari itu, antara bulan November sampai Desember ini kami usulkan supaya Kemenristekdikti ganti nomenklatur terlebih dahulu,” tuturnya. (ms)