Pansus YKP (Yayasan Kas Pembangunan Perumahan) yang dibentuk oleh DPRD Surabaya diperkirakan bakal blunder jadi kontra produktif karena giringan dalam rangka mencari data-data lepasnya YKP tersebut ketangan Pengurus kurang mengarah kepada kebijakan politik mengapa YKP bisa lepas kendali, Panitia anggket hanya cenderung menyisir kasus perkasusnya saja, yang cenderung mendengarkan sepihak dan ditengarai serat kepentingan saja. Sehingga, dengan pengusutan oleh panitia anggket DPRD yang membias tak terarah pada persoalan dan cenderung mendengarkan sepihak itu, anggket tersebut dikuatirkan justru dapat semakin memperkokoh eksistensi pengurus YKP itu sendiri.Surabaya (KN) – Informasi dari para tokoh masyarakat dan warga yang sempat bertemu dengan panitia angket YKP DPRD Surabaya menuturkan, bahwa materi yang ditanyakan dewan lebih banyak mengenai kasus pengadaan tanah, pensertifikatan tanah, penjualan rumah dan tanah-tanah milik Pemkot. Sementara kebijakan politik mengapa YKP bisa lepas kendali dari Pemkot dan DPRD tidak banyak digali, padahal keinginan awal membentuk panitia angket ini untuk mengambil kembali kendali perusahaan perumahan yang dulunya didirikan bersama Pemerintah Daerah tersebut dalam bentuk lembaga Yayasan ketangan Pemkot.
Padahal seharusnya, panitia anggket tidak perlu terlalu bertele-tele untuk mencari kenapa YKP lepas kendali karena semua ada urut-urutan penyebabnya dan bukan begitu saja lepas. YKP lepas kendali setelah munculnya kebijakan politik dengan lahirnya UU 16 tahun 2001 tentang Yayasan, sehingga YKP diwajibkan menyesuaikan dengan UU tersebut apabila masih ingin menggunakan nama depan dengan kata Yayasan.
“Disinilah persoalan yang harus dipecahkan, mengapa pengurus YKP dengan leluasa bisa melakukan penyesuaian sesuai dengan UU yayasan tanpa melibatkan Pemda Kota Surabaya yang mendirikan dan mengendalikan selama ini. Ada apa dibalik itu, apakah Pemda Kota Surabaya membiarkan ataukah ada kerjasama terselubung dibalik semua itu? itulah yang seharusnya digali”, kata beberapa tokoh masyarakat Surabaya yang paham betul persoalan YKP.
Informasi yang berkembang di YKP menyebutkan, sebenarnya pengurus YKP tidak ada niatan untuk melepaskan diri dari kendali Pemkot karena memang selama ini dibawah nauangan Pemkot, tetapi justru Walikota itu sendiri yang tidak mau mengakui YKP dan membiarkan YKP berjalan sendiri setelah UU yayasan terbit. Bagi pengurus YKP.
Kata tokoh tersebut, karena punya tanggungan nasabah yang banyak dan punya tanah yang belum terbangun yang jumlahnya cukup luas, sehingga YKP diharuskan tidak boleh berhenti begitu saja apabila tidak ingin dipidanakan oleh nasabahnya yang telah menabung tapi belum mendapatkan rumah saat itu.
Dengan kondiri seperti itu, Dewan Pengurus melakukan rapat untuk menyesuaikan perubahan Yayasan yang organnya ada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Lembaga Pembina, merupakan organ tertinggi didalam Yayasan dan organ ini seharusnya milik Pemkot dan bukan sebaliknya ditolak olek Pemkot.
Tokoh yang paham soal YKP tersebut tidak bersedia menyebut siapa orangnya yang menolak mangambil posisi Organ Pembina Yayasan Kas Pembangunan yang kini diributkan itu. Sementara Lowyer YKP, Sumarso, SH ketika dihubungi melalui tilpun membenarkan, bahwa Pemkot telah menolak posisi jabatan Pembina yang merupakan organ tertinggi dalam tubuh YKP. Dengan penolakan itulah, Dewan Pengurus YKP tidak bisa disalahkan dalam melanjutkan mekanisme penyesuaian sebagaimana UU Yayasan, karena jika tidak mengambil inisiatif maka YKP tidak bisa melanjutkan aktifitasnya dan akan jadi masalah besar, kemana asset-assetnya akan dilimpahkan.
Surat Walikota patut dipertanyaka
Dalam suratnya Dewan Pengurus YKP yang ditanda tangani oleh Drs H. Suryo Harjono SH N0. 007/UM/YKP/DW/2002 tanggal 21 Agustus 2002 kepada Walikota Surabaya, secara resmi telah mengusulkan Sekkota Ir Ali Sjahbana sebagai Pembina YKP dimaksudkan agar antara YKP dengan Pemkot masih berada dalam satu kesatuan. Namun surat Dewan Pengurus tersebut tidak dikabulkan oleh Walikota bambang DH pada saat itu, sehingga Dewan Pembina sama sekali tidak ada dari unsur Pemkot. Padahal yang menentukan Yayasan sesuai dengan UU yang baru tersebut adalah Dewan Pembina dan bukan Pengurus.
Sebelumnya, Ketua Yayasan (dalam UU 16 adalah Pembina) adalah dijabat Sekkota M. Yasin, setelah Walikota Sunarto Sumoprawiro dengan suratnya No. 700/2000 atas perintah UU 32/1999 tentang Pemda dan Permendagri 50 tahun 1999, Walikota Soenarto mengundurkan diri dari Ketua Bawas PDAM, PD Pasar Surya, PD RPH, Ketua YKP, Ketua Yayasan Gelora 10 Nopember dan Ketua Yayasan Tunas Pratama. Jabatan selanjutnya dijabat oleh M Yasin, yang melekat dengan jabatannya sebagai Sekkota. Namun ketika Sekkota dijabat Ali Syahbana, justru “dilarang” oleh Walikota saat itu.
Walikota Surabaya melalui suratnya No.160/2002 menjawab surat Sekretaris Dewan Pengurus YKP tersebut, pada poin angka 3 menyebutkan agar Yayasan sesuai dengan tujuannya harus dikelola secara mandiri dan professional, karena itu seyogyanya tidak melibatkan pejabat terkait dari Pemkot Surabaya baik sebagai Pembina, Pengurus dan jabatan lain. Dari sura Walikota inilah, seakan YKP disapih oleh induk semangnya sendiri, Namun anehnya, pada Juli 2006 suara lantang seperti halilintar, tiba-tiba Walikota Bambang DH mempersoalkan eksistensi YKP yang telah tidak diakui sebagai anaknya tersebut dan melapor ke KPK.
Padahal, sejak berdirinya YKP, Yayasan itu selalu diaudit oleh audit internal Pemkot yaitu Inspektorat (sekarang Badan Pengawas). Audit menyangkut pemasukan dan pengeluaran Yayasan, setelah diperiksa oleh Dewan Pengawas Yayasan yang terdiri dari para Ketua Fraksi yang dulunya diangkat oleh Walikota berdasarkan keputusan DPRD itu. Audit juga menentukan berapa besar deviden yang harus disetor ke kas daerah, namun sejak tahun 2007 setoran deviden ke Pemkot justru ditolak oleh Kasda (Bagian Keuangan) Pemkot Surabaya tanpa alasan yang jelas, sehingga lembaga YKP sepertinya telah dipisahkan oleh ibunya kandungnya sendiri.
Seperti diketahui, panitia anggket YKP di Komisi DPRD Surabaya hampir setiap hari nggali data dan informasi dengan mengundang pihak-pihak yang dianggap tahu sejarah YLP. Namun sayangnya, terkesan salah arah karena yang dipersoalkan bukan persoalan yang pokok, seperti mengapa YKP nisa lepas kendali dari Pemkot Surabaya. Justru yang dipersialkan malah penyertaan modal Rp 1000 pada tahun 1954 (saat pendirian YKP), aset, dan tanah surat ijo. Kallau yang dipersoalkan hanya seputar itu-itu saja, dikawatirkan panitia angket akan kecele.
Sebab, aset YKP bukan aset Pemkot. Hal itu dutegaskan oleh Walikota Surabaya H. Pornomo Kasidi selaku Ketua Dewan Pengurus YKP saat itu. Dalam surat Nomor: 110 tahun 1994 perihal dukungan untuk membentuk anak perusahaan PT YKP Surabaya, yang dikirimkan kepada Menteri Perumahan Rakyat, diantaranya disebutkan bahwa sebagai Yayasan, asset Yayasan Kas Pembangunan Kotamadya Surabaya bukan milik Pemerintah Daerah sehingga tidak dapat dilebur jadi perusahaan Daerah. (red)