Surabaya (KN) – Pemerintah kota Surabaya dalam melakukan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) sistem Built Operate Transfer (BBOT) untuk meravitalisasi (pembagunan) Pasar Turi Surabaya pasca kebakaran 2007 lalu, patut diduga setidaknya telah dirugikan sekitar Rp 48,6 miliar, bila kontribusi yang didapatkan dibandingkan atas dasar sewa lahan HGB diatas HPL milik Pemkot selama 20 tahun dan tidak 25 tahun seperti KPS dalam pembangunan Pasar Turi. Itupun dihitung selama 20 tahun tanpa ada kenaikan NJOP untuk kawasan Jl Dupak dan sekitarnya yang saat ini NJOP tanah dikawasan itu Rp 6,195 juta per meter persegi, padahal kenaikan NJOP pertahun sekitar 7 persen.
Kerugian Pemkot tersebut belum termasuk hilangnya retribusi karcis pasar pertahun berkisar Rp 8 milyar dan retribusi parkir kendaraan sekitar Rp 5 milyar pertahun. Yang lebih konyol lagi dalam KPS tersebut, Pemkot Surabaya ikut penyertaan APBD sekitar Rp 18,8 milyar yang digunakan untuk membangun tempat penampungan sementara (TPS). Padahal dalam ketentuan BOT sebagaimana pasal 26 ayat 2 PP 6 tahun 2006 menyebutkan, semua biaya dari persiapan sampai dengan pelaksanaan pembangunan Pasar Turi ditanggung oleh mitra kerjasama. Belum lagi kerugian yang diderita oleh pedagang selama 7 tahun dari 2007 sampai sekarang tidak bisa jualan.
Sebenarnya Pemkot sedikit terhibur dengan hasil penjualan aset Pasar Turi tahap 1,2 dan IV yang rusak senilai sekitar Rp 3 miliar dan pembayaran asuransi dari PT Jasindo sekitar Rp 8 milyar. Meski penjualan aset bekas gedung tersebut dipersoalkan oleh pedagang karena telah dibelinya dari tangan investor senilai sekitar Rp 60 miliar dan telah lunas pembayarannya sekitar tahun 1992-an, namun upaya pedagang untuk meminta hasil penjualan aset gedung stand Pasar Turi tersebut sia-sia saja meskipun melaporkan secara hukum kemana-mana sampai KPK, dan secara politis melalui tangan anggota DPRD. Sehingga nasib pedagang Pasar Turi tersebut, ibarat jatuh masih tertimpa tangga lagi karena tidak adanya uluran tangan yang mau membantunya.
Pedagang sendiri harus membayar lagi ke investor Pasar Turi baru sebesar Rp 25 juta per meter melalui cicilan dimuka sebelum adanya bangunan. Harga tersebut, bila dibandingkan dengan pasar-pasar modern di Surabaya yang lain, sangatlah mahal karena di pasar Tambahrejo hanya Rp 8 juta per meter dan di Darmo Trade Centre hanya Rp 5 juta/m2, itupun dibayar tanpa uang muka dan sistem pemabayarannya diangsur selama 5 tahun setelah bangunan ditempati dan bukan seperti Pasar Turi, membayar sebelum bangunan selesai dibangun.
Atas kerugian tersebut siapa yang harus bertanggung jawab ?. Layaknya harus dipertanggung jawabkan oleh dua Walikora Surabaya yang telah terlibat dalam KPS Pasar Turi yaitu walikota yang menanda tangani perjanjian KPS dengan Investor nomor 180/1096/436.1.2/2010 dan walikota yang telah menyerahkan lahan kepada investor nomor dalam berita acara penyerahan 644.1/4619/436.6.11/2011. Sebab, KPS tidak akan bisa berjalan manakala tidak ada perjanjian BOT dan perjanjian BOT tidak dapat dilaksanakan pekerjaannya dilapangan, manakala tidak ada penyerahan lahan. Apalagi dalam perjanjian KPS sistem BOT dan penyerahan lahan itu tanpa melalui persetujuan DPRD Surabaya.
Dalam KPS Pasar Turi tersebut, investor hanya diwajibkan membayar kontribusi selama 25 tahun sebesar Rp 33.200.101.000 atau jika dihitung pertahunnya hanya sekitar Rp 1,3 milyar saja diatas obyek (tanah) yang di BOT kan seluas 27.519 meter persegi, dengan bangunan 8 lantai dan laku dijual Rp 25 juta permeternya kepada pedagang existing dan Rp 80 juta per meter kepada pedagang baru. Sehingga sangat ironis dan bagi hasilnya dengan Pemkot sebagai pemilik lahan dan telah ikut dalam penyertaan modal berupa bangunan TPS.
Sistem Penghitungan
Dalam menghitung besaran kontribusi, ternyata tidak dijelaskan dalam perjanjian kerjasama pemerintah swasta (KPS) antara Pemkot dengan Investor, sehingga patut diduga penghitungan kontribusinya tidak menggunakan dasar acuan sebagaimana diatur dalam Pemen 22 tahun 2009 dan PP 6 tahun 2006 serta Permen 17 tahun 2007. Karena itu, sangatlah wajar apabila pihak Pemkot yang dirugikan karena kurang cermat dalam menggunakan dasar menghitung kontribusi atas KPS BOT tersebut.
Penghitungan kontribusi KPS Pasar Turi tersebut sangat ironis dengan KPS penyewaan aset yang sama-sama milik Pemkot terhadap gedung siola. Besaran kontribusi gedung Siola yang keluasan tanahnya hanya 6000 meter persegi, nilainya sebesar Rp 4 milyar atau selama 25 tahun dari hasil penyewaan gedung Siola tersebut pendapatan Pemkot sebesar Rp 100 miliar.
Seharusnya kerugian Pemkot tidaklah terlampau parah manakala tidak ikut dalam penyertaan BOT dengan membangun TPS sebesar Rp 18,8 miliar, karena proses BOT tersebut sesuai dengan ketentuan menjadi beban mitra kerjasama dan bukan bersama-sama dengan Pemkot.
KPS Pasar Turi tersebut sebenarnya telah bermasalah sejak lelang BOT karena acuan yang digunakan bukanlah kerjasama pemanfaatan asset melalui lelang beauty contes, melainkan lelang pengadaan barang dan jasa yang dibiayai pemerintah. Sebab, sejak dari awal pasca kebakaran, Pasar Turi itu akan dibangun sendiri oleh Pemkot, namun ditengah pelaksanaan lelang berubah pikiran dibiayai oleh pihak ketiga dengan sistem BOT. Karena lelangnya pengadaan barang dan jasa, maka peserta lelangnya sebenarnya juga lebih berorientasi sebagai kontraktor dan bukan investor. (red)