Surabaya (KN) – Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya menyoroti Penggunaan bus reguler yang digunakan sebagai perjalanan wisata. Hal ini biasanya terjadi pada saat libur panjang atau hari libur nasional. Seperti libur Natal dan Tahun Baru.“Biasanya saat liburan panjang banyak bus reguler yang dipakai untuk tujuan angkutan wisata. Karena memang banyak permintaan untuk wisata sekolah. Tapi bus reguler aturannya tidak boleh dipakai untuk wisata,” ujar Kadishub Surabaya, Eddi, SElasa (23/12/2014).
Dijelaskan Eddi, sesuai dengan aturan bahwa bus reguler tidak diperkenankan untuk ‘beralih’ menjadi bus wisata. Adapun yang boleh dipakai sebagai bus wisata adalah bus cadangan. “Jadi kalau ada bus reguler yang dipakai wisata, hal itu jelas-jelas melanggar,” jelasnya.
Menurut Eddi, untuk Natal dan Tahun Baru seperti biasanya tidak banyak bus yang terpakai. Permintaan bus untuk tujuan wisata hanya berkisar sekitar 40 persen. “Lha celakanya meski 40 persen namun ada juga yang memakai bus reguler. Itu yang jadi masalah,” tandasnya.
Terkait bus-bus reguler yang dipakai untuk angkutan wisata, hal tersebut mengakibatkan para penumpang bus reguler yang menjadi korban. Karena kuota bus reguler menjadi berkurang karena dipakai wisata. “Jadi kalau ada penumpang bus di terminal yang keleleran, salah satu penyebabnya karena bus reguler habis dipakai untuk wisata,” tuturnya
Saat ini Dishub Kota Surabaya hingga saat ini terus melakukan penindakan atas pelanggaran pemilik kendaraan. Seringkali pemilik kendaraan memarkir kendaraannya di tempat yang dilarang untuk parkir. Tapi sayangnya, meski kerap ditindak dengan penilangan, tapi pelanggaran tetap dilakukan berulang-ulang.
Eddi mengakui bahwa, sangsi yang dijatuhkan bagi pelanggar tidak begitu berat. Misalnya, sangsi denda. Nilainya hanya sebesar Rp70.000. Bagi pemilik kendaraan, khususnya roda empat, jumlah uang sebesar itu terbilang kecil, mengingat orang yang sudah memiliki kendaraan roda empat secara ekonomi pasti mapan. Dengan nilai denda sebesar itu, maka wajar jika pelanggaran masih kerap dilakukan pemilik kendaraan. Menurut Eddi, nilai denda ini terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan kota disekitar Surabaya seperti Sidoarjo. Di kota berjuluk Kota Lobster ini, denda bagi pemilik kendaraan yang parkir sembarangan itu sekitar Rp100.000 lebih.
Dengan nilai denda sebesar itu, Sidoarjo sedikit banyak sudah mampu mengendalikan jumlah pelanggaran kendaraan yang parkir ditempat yang dilarang. Anehnya, Surabaya yang kotanya lebih besar dari Sidoarjo dan juga ibu kota Jawa Timur (Jatim), nilai denda bagi pelanggar jauh lebih kecil. “Kalau bisa, setidaknya sangsi denda bagi pelanggar di Surabaya itu nilai lebih tinggi dari Sidoarjo. Ya idealnya Rp 150.000 sampai dengan Rp 200.000. Nanti kami akan komunikasikan dengan Pemkot Surabaya dan juga pengadilan soal perubahan nilai sangsi denda ini,” ujarnya.
Eddi menambahkan, meski pelanggaran masih kerap dilakukan pemilik kendaraan, pihaknya tetap rutin melakukan sosialisasi terkait ketertiban parkir. Sosialisasi ini dilakukan ke semua lapisan masyarakat, termasuk ke sejumlah lembaga pendidikan. Mulai dari tingkat SD,SMP hingga SMA. Untuk membuat jera pelanggar, pihaknya tidak dapat melakukan tindakan yang lebih selain menjatuhkan sangsi denda. Sebelum dijatuhi hukuman denda, terlebih dulu disidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Selain ini, dishub juga sudah berupaya dengan tindakan yang lain seperti mengempesi ban kendaraan. Namun rupanya upaya-upaya tersebut masih sia-sia belaka karena pelanggaran yang sama masih saja terjadi. (wah)