Surabaya (KN) – DPRD Kota Surabaya mengkritisi kebijakan baru Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terkait program Penerimaan Bantuan Iuaran (PBI) sebagai pengganti dihapuskannya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bagi warga miskin yang dinilai sebagai kebijakan yang terburu-buru.
“Apakah saat ini merupakan momentum yang tepat untuk perubahan kebijakan dari penghentian SKTM beralih ke PBI? Bagaimana kelak sinkronisasi dengan rencana kebijakan pusat yang akan menerapkan Kartu Indonesia Sehat? Apakah tidak bakal bongkar-bongkar kebijakan lagi?” tanya anggota DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, Minggu (12/10/2014).
Menurut politisi PDIP ini, hak warga miskin di Kota Surabaya tidak boleh terabaikan oleh hak pelayanan kesehatan karena Negara mampu menjamin hak mereka.
Selain itu, lanjut dia, di level strategi kebijakan haruslah disusun jelas skemanya. Tidak saja menyangkut goal/target, tetapi juga mesti dipastikan lancar prosesnya, yang tidak saja menyangkut bekerjanya antarorgan, unsur, sub sistem pemerintahan, tetapi juga dipayungi regulasi di semua jenjang/tingkatan agar tercipta kepastian kebijakan.
“Regulasi dan bekerjanya antarsub sistem menjadi wujud jelas kelancaran/ terhambatnya mekanisme pelaksanaan kebijakan,” katanya.
Dia mengatakan, kalau kebijakan SKTM bagi warga miskin yang sudah dianut di Surabaya, kira-kira sejak 8 tahun lalu, kemudian didukung dengan slot anggaran yang kuat di APBD Surabaya, dimana kebijakan SKTM dipayungi oleh Perwali, kemudian tiba-tiba dihentikan tentunya akan membuat warga kecewa.
Adi mengharapkan Pemkot telah dan dapat menjamin dan memastikan perubahan kebijakan dari SKTM ke PBI tepat dan bisa dijalankan lancar di lapangan, serta dengan target utama semakin menjamin hak kesehatan warga miskin di Surabaya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menekankan agar mempertahankan SKTM yang telah di-back up anggaran di APBD, di pihak lain ada BPJS, dan PBI berangsur-angsur diterapkan, yakni migrasi dari data warga miskin di Kota Surabaya ke PBI.
Sementara itu, anggota DPRD lainnya Reni Astuti mengatakan PBI yang dimaksud Pemkot cukup bagus karena dimaksudkan agar warga miskin/tidak mampu bebas iuran BPJS.
“Namun tetap mendapatkan layanan kesehatan di semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Jadi yang nanggung iuran pemerintah,” katanya.
Terkait transisi SKTM ke PBI, kata Reni, yang paling penting adalah perlu kebijakan tepat agar jangan sampai pada rentang waktu itu warga miskin tidak bisa terlayani kesehatannya.
PBI sendiri diatur dalam PP No.101 Tahun 2012 dan merupakan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Kunci keberhasilan konversi SKTM ke PBI adalah layanan administrasi yang handal. Agar data akurat. Ini tugas pemerintah kota,” katanya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana mengatakan memang saat ini semua dinas di Pemkot Surabaya yang programnya bersentuhan dengan masyarakat miskin sedang mendata ulang sesuai nama dan alamat.
“Pemkot lagi berupaya mendata ulang karena data dari BPS (Badan Pusat Statistik) sudah tidak akurat lagi,” katanya. (anto)