Surabaya (KN) – Polemik penutupan sekolah swasta oleh Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya sampai saat ini terus berlanjut. Kepala sekolah yang lembaganya ditutup sepihak terus melakukan penolakan. Mereka berdalih, kebijakan Kepala Dindik Surabaya M Ikhsan tidak humanis. Tidak ada perhatian terhadap nasib yayasan dan para guru pasca sekolah ditutup.
Hartono, Pemilik TK Bustan yang berlokasi di Manyar kawasan Surabaya mengatakan, alasan menutup tidak bisa diterima dengan baik. Meski mengacu pada aturan pemerintah namun dia menyayangkan tidak adanya sikap humanis dari M Ikhsan. Menurutnya, taman kanak-kanak (TK) yang ditutup sebanyak dua lembaga, sekolah dasar (SD) sejumlah 38, sekolah menengah pertama (SMP) tiga lembaga, dan tiga SMA.
“Semua lembaga yang ditutup ini sekolah swasta,” katanya, Senin (30/6/2014).
Dia menyayangkan langkah penutupan itu. Padahal umur sekolah yang ditutup mencapai puluhan tahu. Sebagian dari sekolah itu berusia 50-60 tahun. Dari segi prestasi juga tidak bisa diragukan. Sehingga penutupan sekolah swasta ini muncul tudingan dikotomi terhadap lembaga pendidikan swasta.
Hartono meminta agar Walikota Surabaya Tri Rismaharini memberhentikan Kadiknas M Ikhsan dan Sekretaris Diknas Aston dari jabatannya. Selain itu dia berharap agar Kepala Dinas Pendidikan diambilkan dari kepala sekolah yang pintar, cerdas, dan memiliki prestasi. Dengan begitu, segala kebijakan bisa diambil secara button up bukan top down.
“Tiga dosa besar Ikhsan dan Aston, dia menutup sekolah, melarang 21 siswa ikut UN (ujian nasional) dan soal UN bocor, tiga alasan ini bisa dijadikan alat untuk mencopot mereka,” tegasnya.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya Baktiono berjanji akan memfasilitasi para Kepala Sekolah dan Dindik Surabaya. Dia menyadari keberadaan siswa dalam setiap kelasnya tidak memenuhi syarat Peraturan Menteri Pendidikan nasional (Permendiknas). Meski begitu, penutupan puluhan sekolah itu harus melihat situasi dan kondisi lingkungan sosial siswa.
Politisi PDIP ini menerangkan, rata-rata para guru sekolah merupakan relawan pendidikan. Mereka mengajar bukan untuk mengejar gaji. Sebab gaji mereka setiap bulannya hanya Rp 200 ribu, sedangkan Kepala Sekolahnya lebih besar sedikit, yakni Rp 500 ribu. “Sekolah ini udah berdiri puluhan tahun. Pemkot sendiri belum bisa menjangkau sekolah-sekolah itu,” ujarnya.
Kebijakan merger tidak sepenuhnya jadi solusi yang tepat. Karenanya, dia berharap Dindik Surabaya mengedepankan pendekatan humanis dalam menutup sekolah. Mayoritas siswa di sekolah-sekolah itu berasal dari keluarga tidak mampu. “Itu boleh (ditutup), tapi tidak serta merta langsung tutup. Harus dipikirkan semuanya. Mulai dari nasib siswa, guru, dan yayasannya,” tandasnya.
Terpisah, M Ikhsan memastikan penutupan sejumlah sekolah di Surabaya sudah sesuai prosedur. Menurutnya, penutupan itu selaras dengan ketentuan pendirian sekolah.
Penutupan itu sesuai dengan peraturan pemerintah No 60 tahun 2002 tentang pendirian sekolah. Dalam aturan itu disebutkan secara jelas untuk satu kelas minimal harus dihuni oleh 10 siswa. Sementara sekolah yang akan ditutupnya, rat-rata masih di bawah jumlah tersebut. (anto)