Surabaya (KN)- Menurut Hadi Pranoto SH MH, Advokad dan Wakil Ketua KPP Jatim, demo warga Jl Tambak Bayan dan Jl Kepatihan ke Pemkot, Selasa (22/2), lalu karena sepanduk yang isinya melawan Soetiadji Yudho dicopot Satpol PP itu adalah merupakan perang melawan Mafia tanah. Yakni kolusi pemilik modal dan oknum-oknum aparat, apakah itu aparat BPN maupun aparat Pemkot Surabaya.
“Sehingga orang yang bernama Soetiadji Yudho dengan leluasa dapat menguasai tanah dengan memperoleh sertifikat HGB tersebut,” ujar Hadi Pranoto. Demo warga Tambak Bayan itu merupakan ekspresi dari tuntutan mereka. Mereka merasa berhak memiliki dan tinggal di Jl Tambak Bayan dan Kepatihan yang mereka huni puluhan tahun secara turun-temurun .
Mereka berada di Tambak Bayan dan Kepatihan sejak jaman Belanda, kawasan itu dikenal sebagai kampung Pecinan kota Surabaya, sejak tahun 1917 sampai saat ini. Semula mereka itu menyewa dari pemilik (orang Belanda). Kemudian diteruskan dengan Koperindo. Sehingga warga Tambak Bayan maupun tidak bisa dikatagorikan sebagai orang-orang yang menyerobot, atau orang-orang tinggal di suatu persil secara tidak sah.
Mereka tidak melawan hukum, mereka legal tinggal disitu, dan kemudian apabila persil tersebut menjadi tanah negara, maka seharusnya warga Tanmbak Bayan dan Kepatihan itu yang diprioritaskan untuk memperoleh hak dari BPN. Atau kalau tanah itu merupakan tanah milik Pemkot (aset Pemerintah Kota Surabaya, maka harus ada ketegasan dari Pemkot untuk memberikan hak penghunian kepada warga Tambak Bayan maupun Kepatihan yang sudah puluhan tahun seara turun temurun tinggal di situ.
Tetapi anehnya, ternyata secara tiba-tiba muncul sertifikat hak guna bangunan di Tambak Bayan, atas nama Soetiadji Yudho alias Loe Tun Bie. Ini mengherankan, sebab Tun Bie yang juga pemilik Hotel Pasar Besar, Hotel V3, Oval Hotel, Hotel Mini Pantai Ria Kenjeran dan Tempat Ibadah Sanggar Agung ini tidak pernah menguasai tanah dikawasan tersebut.
Loe Tun Bie ini tidak pernah tinggal di situ, dia orang berada jauh dari lokasi, kemudian tanpa dilakukan pemeriksaan setempat oleh pihak BPN, tanpa dilakukan pengukuran, tiba-tiba muncul sertifikat atas namanya. Berbekal sertifikat itu kemudian Tun Bie akan mengusir warga dari tempat tinggalnya, yang telah dihuni secara tutun-temurun sejak jaman Belanda itu. Upaya warga bertahan melalui jalur hukum sedang dalam proses di tingkat Mahkamah Agung. Kemudian melalui upaya-upaya non-yuridis lewat permohonan-permohonan, maupun melalui unjuk rasa ke BPN. Sampai saat inipun kelihatannya belum membuahkan hasil.
Kemudian menuntut keterbukaan Walikota Surabaya, baik melalui upaya-upaya secara persuasif, tidak menghasilkan seperti yang diharapkan warga Tambakbayan, terakhir pekan lalu melakukan demo, dengan harapan Walikota lebih memperhatikan nasib warga Tambak Bayan maupun Kepatihan yang haknya merasa akan direbut orang lain .
Seperti diketahui, Warga Tambak Bayan merasa resah dan ketakutan, setelah Loe Tun Bie alias Soetiadji Yudho pada tahun 1993, 1995 dan 2004 memperoleh 3 (tiga) Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan total seluas 11.352 M2. Berbekal 3 SHGB itu, Loe Tun Bie berusaha menyingkirkan warga yang telah turun temurun sejak jaman Belanda tinggal di persil tersebut. Mulai dari iming-iming uang satu juta per M2, sampai ancaman warga akan meneteskan air mata darah bahkan melalui gugatan pengosongan lewat Pengadilan yang saat ini di tingkat kasasi.(bon)