Jakarta,mediakorannusantara.com – Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan terkait kekerasan seksual di Indonesia. Sehingga, menjamin kepastian dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, khususnya pada kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menerangkan bahwa dalam UU Nomor 8Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin.
Hal itu dikarenakan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas.
“Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang memberikan aksesibilitas yang layak sehingga penyandang disabilitas mendapatkan kesamaan, kesempatan, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual,” tutur Menteri PPPA dalam keterangan yang diperoleh pada Jumat (17/6/2022).
Karenanya ia berharap, UU TPKS yang menempuh proses panjang hingga diundangkan oleh Presiden pada 9 Mei 2022 lalu tidak hanya menjadi regulasi semata, tetapi dapat diimplementasikan dan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya perempuan, anak, dan disabilitas.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengatakan, UU TPKS bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, dan zero tolerance terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual.
“Ini menjadi bagian sinergi yang harus terus kita dorong, seluruh Kementerian/Lembaga akan berbuat sesuatu sesuai dengan tugas dan fungsinya,” ujar Ratna.
Sementara Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI), Willy Aditya sepakat, UU TPKS merupakan kolaborasi antara eksekutif, legislatif, dan dorongan masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak sipil dan hak warga negara.
“UU TPKS hadir memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kelompok rentan. Bagaimana memuliakan perempuan, menjaga anak-anak, serta yang menjadi titik penting dari kehadiran UU ini adalah perlindungan bagi kaum disabilitas,” katanya.
Menurut Willy, terdapat beberapa pasal dan norma yang krusial dalam UU TPKS terkait perlindungan terhadap disabilitas, contohnya Pasal 45 Ayat 4 yang menyebutkan, keterangan korban atau saksi orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan yang sama dengan keterangan korban dan saksi selain orang dengan penyandang disabilitas.
“Akan tetapi, perjuangan kita belum berhenti. Persatuan kita harus terus berlanjut untuk memastikan semua aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, hakim, serta pemerintah memiliki perspektif korban dan sensitivitas terhadap disabilitas. Selain itu, DPR akan menjalankan tugas dan fungsi pengawasan untuk memastikan semua aturan turunan UU TPKS bisa dieksekusi secara cepat,” tuturnya.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menjelaskan bahwa Pasal 45 Ayat 4 UU TPKS hanyalah satu dari sebelas pasal yang memberikan perlindungan khusus dan lebih bagi penyandang disabilitas dalam UU TPKS. “Ini merupakan satu-satunya produk legal yang secara jelas mengakui bahwa kesaksian kita, keterangan kita, memiliki bobot atau kekuatan hukum yang sama dengan saksi atau korban bukan disabilitas,” pungkasnya. (wan/inf)