Jakarta, mediakorannusantara.com – PT Pertamina (Persero) menyepakati empat nota kesepahaman guna merealisasikan langkah-langkah strategis dalam rangka program keberlanjutan energi dan dekarbonisasi di Indonesia.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pihaknya melakukan kajian dan penjajakan kerja sama untuk pengembangan upaya-upaya menuju netralitas karbon dari aspek teknologi, energi ramah lingkungan, offset emisi, dan potensi kolaborasi lainnya.
“Nota kesepahaman tersebut merupakan bentuk realisasi untuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, dan juga menunjukkan bagaimana G20 bisa mendorong realisasi dari apa yang telah dicanangkan,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.18/1
Nota Kesepahaman tersebut ditandatangani pada Selasa 18 Januari 2022, bertepatan dengan agenda Stakeholders Consultation oleh The Business 20 (B20) Task Force Energy, Sustainability, and Climate yang dipimpin langsung oleh Nicke Widyawati.
Pada nota kesepahaman pertama, Pertamina dan Jababeka sepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan green industrial estate yang di dalamnya akan mencakup pasokan gas, penyediaan pasokan listrik dari energi baru terbarukan, riset dan inovasi.
Selanjutnya Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) juga berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan clean-LNG dan clean-gas dari terminal LNG Bontang.
Kerja sama ini dimaksudkan untuk bersama-sama mengembangkan usaha untuk memproduksi LNG yang bersih secara fisik, bebas karbon di Terminal Bontang, termasuk offset melalui kredit karbon yang dapat diberikan oleh gas atau LNG yang bersih secara fisik yang diproduksi di Indonesia.
Pertamina juga menyepakati nota kesepahaman dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) untuk melakukan kerja sama studi aplikasi teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), dan produksi hidrogen sebagai upaya mendukung penurunan emisi melalui pengembangan energi baru terbarukan, sekaligus untuk mencapai netralitas karbon dan mempromosikan climate goals.
Bahkan perseroan juga melakukan kerja sama dengan PT Grab Teknologi Indonesia dan PT Sepeda Untuk Indonesia melalui anak usahanya PT Pertamina New & Renewable Energi (PNRE) dan Subholding Commercial & Trading (C&T) untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, terkhusus bisnis baterai dan sistem penukaran baterai sampai peningkatan desain kendaraan listrik.
“Ada 4 kerja sama yang kami tandatangani. Ini semua adalah mendukung program pemerintah untuk mencapai net-zero emissions di tahun 2060 dan yang medium term-nya adalah menurunkan karbon emisi di tahun 2030 antara 29 persen sampai 41 persen,” ujar Nicke.
Dia menjelaskan bahwa agenda Stakeholders Consultation oleh B20 itu mengangkat tema terkait inovasi, inklusivitas, dan kolaborasi.
Menurutnya, ketiga hal tersebut harus diwujudkan guna merealisasikan target pemerintah untuk mencapai netralitas karbon.”Oleh karena itu dengan penandatanganan ini kami pun membuka kerja sama tersebut,” ucap Nicke.
Dia menambahkan ada dua hal yang selama ini menjadi masalah kritis yang membuat peningkatan energi baru terbarukan menjadi berjalan tidak secepat yang diharapkan.
Pertama adalah teknologi, di mana Indonesia memiliki sumber energi yang sangat besar, tapi masih memerlukan teknologi dan melakukan inovasi serta kreativitas yang bisa memproses sumber daya tersebut menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.
Kedua, akses pendanaan yang juga menjadi salah satu isu. Oleh karena itu di B20 ada task force khusus membahas tentang pendanaan, salah satunya adalah green funding yang membahas terkait pengembangan dan peningkatan energi baru terbarukan.
Nicke juga membahas soal affordability atau kemampuan finansial terkait dengan transisi energi. Menurutnya, hingga kini dengan pengembangan teknologi yang sudah terjadi membuat energi baru terbarukan dinilai masih lebih tinggi harganya dibanding dengan energi fosil.
“Jadi affordability ini menjadi fokus pembahasan yang sangat penting karena ini bukan hanya harga dari energi itu sendiri, tetapi juga perubahan ke arah renewable energy ini akan mendorong juga ke arah daya beli masyarakat,” jelas Nicke.
Untuk itu, kata Nicke, yang harus dilakukan saat ini adalah membuat program yang bisa menyeimbangkan hal-hal tersebut agar target pemerintah untuk netralitas karbon bisa terwujud pada 2060.
“Ini tugas kita bersama untuk merumuskannya. Karena selain inovasi, kolaborasi dengan negara-negara maju yang mereka sendiri mengalokasikan sebagian dana untuk pengembangan renewable energy dan mendorong transisi energi di negara berkembang, ini pun harus kita bahas,” kata Nicke.
Tak hanya soal bisnis besar, lanjut Nicke, terkait UMKM di negara berkembang juga harus dipertimbangkan.
Dia menilai rekomendasi kebijakan yang akan diusulkan nanti harus berdampak baik untuk sektor UMKM, karena lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia diserapnya di sektor UMKM, dan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional sekitar 64 persen
“UMKM merupakan faktor penting karena ini menjadi kekuatan negara berkembang termasuk Indonesia ketika menghadapi krisis. Kalau UMKM ini bisa stabil maka recovery juga akan semakin cepat,” pungkas Nicke.(wan/an/ar)