Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Kejadian luar biasa (KLB) penyakit difteri di Jawa Timur menjadi sebuah anomali bagi provinsi ini. Artinya, meskipun Jatim telah memperoleh capaian ekonomi yang tinggi dan berbagai prestasi tingkat nasional, namun di sisi lain Jatim juga mendapatkan KLB penyakit difteri.“Saya sedih melihat hal ini, sebuah anomali ketika berbagai hal yang baik terjadi di Jatim, misalnya pendapatan masyarakat yang meningkat tajam dan berbagai fasilitas kesehatan tersedia, tapi ada hal lainnya yang membuat kaget kita, yakni permasalahan penyakit difteri ini,” ujar Gubernur Jatim Dr. H. Soekarwo saat memimpi Rapat Koordinasi Pemantapan Outbreak Response Immunization Difteri se-Jawa Timur di Kantor Dinas Kesehatan Prov. Jatim Jl. A Yani Surabaya, Rabu (17/1/2018) pagi.
Ekonomi bagus masyarakat Jatim tsb, jelasnya, antara lain terlihat dari pendapatan perkapita masyarakat Jatim yang naik 200% dibanding tahun 2008. Demikian pula, fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Diantaranya, 371rumah sakit, 961 puskesmas dari 661 kecamatan yang ada, yang berarti banyak kecamatan memiliki puskesmas lebih dari satu buah. Juga, puskemas pembantu sebanyak 2.668, pondok kesehatan sebanyak 3.213, serta polindes 4.711 buah.
Untuk itu, Pakde Karwo sapaan lekat Gubernur Jatim mengajak pemerintah kabupaten/kota se-Jatim secara serius menangani difteri. “Posisi kita dalam KLB penyakit difteri. Mari kita bergerak bersama menangani difteri,” ujarnya.
Salah satu langkah yang dilakukan, lanjutnya, yakni Pemprov Jatim mengalokasikan anggaran Outbreak Response Immunization (ORI) dengan 82 persen untuk operasional sesuai kebutuhan kabupaten/kota. Diperkirakan total kebutuhan anggaran untuk menangani difteri sebanyak Rp 98 milyar, dengan pembiayaan sharing antara Pemprov sebesar Rp. 49 milyar dan sebesar Rp. 49 milyar lainnya menjadi tanggungan pemerintah kab/kota se-Jatim.
Sasaran penggunaan anggaran ORI tersebut ditujukan untuk 38 kab/kota di Jatim, dengan target sebanyak 10.717.765 orang, yakni usia 1-19 tahun. “Seluruh anak di Jatim usia 1-19 tahun untuk diimunisasi semuanya. Mereka yang diprioritaskan untuk diberikan vaksin imunisasi ORI,” tegasnya sambil menjelaskan imunisasi diberikan sebanyak tiga kali pemberian dengan interval pemberian 5 bulan.
Makna dilakukannya pemberian imunisasi massal ORI, jelas Pakde Karwo, untuk merespon kejadian luar biasa difteri ini sehingga penyakit tidak semakin meluas, dapat memutus penularan difteri, dan terjadi penurunan kasus difteri. “Pelaksanaan imunisasi ini harus benar-benar dikontrol, diberikan selama tiga kali. Dengan demikian, penanganan difteri ini bisa dilakukan dengan tuntas,” pesan orang nomor satu di Jatim tsb.
Dalam kesempatan ini, Pakde Karwo juga mengharapkan dilakukannya penelitian penyebab anomali tsb, termasuk angka ibu hamil dan anak yang cukup tinggi. “Misalnya, apakah ibu meninggal karena clamsia dan preclamsia. Juga anaknya meniggal karena kurang gizi yang diaebabkan ditinggal ibunya bekerja,”ujarnya.
Di Jawa Timur, kasus difteri tertinggi terjadi di Sampang, Gresik, Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, yakni kasus lebih dari 21 penderita. Sementara itu, daerah dengan kasus antara 10-20 penderita berada di Bojonegoro, Sidoarjo, Jombang, Batu, Kota Malang, Kab. Malang, Lumajang, Kab. Blitar, dan Kota Blitar.
Sekretaris Jenderal Kemenkes RI dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes dalam sambutanya mengatakan, KLB difteri ini hampir terjadi pada 30 provinsi pada tahun 2017. Sedangkan pada awal tahun 2018, kasus baru mengalami penurunan. Saat ini hanya 5 provinsi yang masih terdapat kasus difteri.
Dijelaskan, setelah dua kali masa inkubasi atau dua minggu tidak ada lagi kasus baru di sebuah daerah, maka KLB dinyatakan berhenti. Penanganan difteri yang sangat krusial adalah pencegahan melalui imunisasi di setiap daerah. (KN04)