Surabaya (KN) – Pasal siluman dalam Perda 10 tahun 2012 tentang retribusi pelayanan persampahan diduga sebagai pemicu munculnya dugaan penyimpangan dalam proses penagihan retribusi kebersihan Kota Surabaya. Selain amburadulnya administrasi pengelolaan keuangan daerah. Karena pasal tersebut seakan muncul secara tiba-tiba tanpa adanya rujukan cantolan hukum aturan diatasnya dan bahkan berlawanan dengan konsiderannya.
Dengan demikian selayaknya Tim Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang kini tengah melakukan pengusutan dan pemeriksaan dugaan penyimpangan retribusi kebersihan dalam rekening PDAM, benar-benar memeriksa sampai ke sumber akar masalah sebagai timbulnya dugaan penyimpangan tersebut dan tidak sekedar di PDAM saja.
Penelitian perlu ditelusuri ke lembaga wakil rakyat mengapa sampai muncul pasal yang memasukkan PDAM seakan seperti SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), dibalik itu bagaimana prosesnya”,Demikian rangkuman wawancara Koran Nusantara dengan Wakil Ketua Dewan pelanggan PDAM Kota Surabaya, Ferry Suharyanto yang selama ini getol mengkritisi pungutan retribusi kebersihan yang pelaksanaannya membonceng tagihan rekening air minum (PDAM). Tumpangan rekening PDAM terebut, dilakukan tanpa terlebih dulu dilakukan lelang penarikan retribusi sebagaimana ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Perpres.
PDAM adalah perusahaan yang didirikan oleh Pemkot yang keberadaannya sama dengan Perseroan Terbatas, Perusahaan Umum dan perusahaan milik Negara lainnya yang artinya merupaan aset yang dipisahkan, sehingga apabila akan mengerjakan proyek pemerintah harus melalui mekanisme lelang seperti lelang proyek-proyek fisik membangun jembatan dan jalan. Jadi tidak langsung tunjuk saja dapat mengelola uang APBD, mestinya semua itu ada mekanismenya.
PDAM sendiri sesuai dengan anggaran dasar pendirian adalah perusahaan penyedia air minum bagi masyarakat kota Surabaya yang sehat memenuhi standar Depkes dan bukan sebagai tukang tagih retribusi sampah. Karena itu, selayaknya Pemkot bersama dengan DPRD melakukan revisi anggaran dasar PDAM terlebih dulu apabila digunakan sebagai tukang tagih retribusi sampah. Sehingga jelas aturan mainnya, apakah dapat jasa fee atau bagi hasil keuntungan sebagaimana tatacara kerjasama daerah dengan pihak ketiga termasuk PDAM.
Sebenarnya, Pemkot Surabaya telah punya bank perkreditan rakyat (BPR) yang sesuai dengan azasnya dapat digunakan sebagai tukang tagih retribusi sampah, tapi mengapa tidak digunakan?.
Memang sepintas seakan tidak bermasalah dengan pasal 11 ayat 1 dalam Perda 10 tahun 2012 tentang retribusi pelayanan kebersihan tersebut, namun ketika dicermati pada ayat 2 menyebutkan, dokumen lain yang disamakan berupa karcis tagihan rekening pembayaran PDAM maka dalam ayat 2 pasal 2 tersebut langsung menyeret PDAM sebagai SKPD sehingga menabrak UU BUMD dan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dengan demikian, kemana cantolan hukumnya sehingga dapat mengkonotasikan artian surat ketetapan retribusi daerah (SKRD) dan yang dipersamakan tersebut dengan karcis atau rekening tagihan PDAM.
Padahal dalam UU 28 tahun 2009 pasal 160 ayat 2 yang menyebut dokumen lain yang disamakan berupa karcis, kupon dan kartu langganan terebut mengacu kepada ayat 1 yaitu yang diterbitkan oleh SKPD dan bukan PDAM karena PDAM bukan SKPD melainkan sebuah perusahaan.
Walikota Keluarkan Intruksi
Wakil Ketrua Dewan Pelanggan PDAM Surabaya, Ferry Suharyanto yang juga mantan Ketua Komisi A DPRD Surabaya menyebutkan, Perda 10 tahun 2012 tersebut merupakan perubahan perda 4 tahun 2000 yang pada prinsipnya terjadi perubahan tarip retribusi kebersihan dan penyesuaian dengan UU 28 tahun 2009. Sayangnya dalam Perda tersebut muncul pasal 11 ayat 2 yang mana dalam perda 4 tahun 2000 tidak ada.
Pasal 9 ayat 1, perda 4 tahun 2000 menyebut retribusi dipungut oleh SKPD atau dokumen lain yang disamakan dan ayat 2 menyebut, hasil pungutan disetor ke kas daerah melalui BKP [Bendahara Kas Penerima] pada Dinas Pendapatan. Bahkan pasal 10 secara tegas menyebutkan, pemungutan retribusi kebersihan tidak boleh diborongkan.
Sementara Ketua DPRD Surabaya yang juga mantan Ketua Komisi B DPRD Surabaya Muchammad machmud beberapa waktu lalu mengatakan, penarikan restribusi sampah yang dijadikan satu dengan rekening PDAM itu diperbolehkan, untuk uang jasa pengut restribusi itu juga ada aturanya. Namun ia enggan menyebutkan aturanya melalui Perda atau perwali nomor berapa, dan di komisi mana retribusi kebersihan tersebut dibahas.
Dikalagan anggota DPRD sendiri menyebut, pasal tersebut diduga sebagai pasal titipan yang berbau aroma pragmatisme, sehingga wajar apabila sekarang ini muncul persoalan hukum yang ditangani Kejaksaan Tingi jatim, terkait restribusi sampah dalam rekening PDAM dan uang jasa pungut (japung).
Sayangnya, pasal titipan tersebut ditelan begitu saja oleh Walikota Surabaya yang seharusnya berhati-hati ketika menerbitkan perwali 50 tahun 2011 yang mengatur tentang pemberian insentif perangsang bagi pemungut pajak dan retribusi (japung) sebesar 5 persen dari nilai retribusi dan pajak yang dipungut untuk dibagi-bagikan. Seharusnya Perwali mengatur tatacara kerjasama dengan BUMD dalam rangka pemungutan retribusi dan bukan mengatur fee japungnya saja.
Menyadari kekeliruan tersebut, Walikota akhirnya mengeluarkan Intruksi Walikota No. 8 tahun 2012 kepada Dinas Kebersihan dan pertamanan agar menyiapkan Perwali yang mengatur pasal 11 ayat 4 mengenai tatacara pelaksanaan pemungutan retribusi kebersihan. Sayangnya carut marut payung hukumnya belum ada, sementara dilapangan memungut uang rakyat tersebut terus berjalan. (red)
Ilustrasi sampah