Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Komisi C DPRD Surabaya menyarankan dua warga Medokan Semampir yang bersengketa soal bangunan rumah yang rusak untuk dibawa ke ranah hukum atau lembaga pengadilan. Ini setelah berbagai musyawarah yang dilakukan berjalan alot dan selalu menemui jalan buntu. Apalagi, kedua belah pihak sama-sama merasa benar.
Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Baktiono usai hearing bersama dinas terkait dan warga Medokan Semampir yang mengadukan bangunan rumahnya retak- retak akibat bangunan rumah tetangganya, Senin (5/4/2021).
Baktiono mengatakan, Komisi C mengundang Darto, warga Jalan Medokan Semampir 79 yang mengadukan Joko, tetangganya, karena tembok rumahnya retak-retak akibat pembangunan rumah milik Joko. Persoalan ini sempat dimusyawarahkan di tingkat RT/RW, kelurahan, dan kecamatan, Pemkot Surabaya, tapi tak ada titik temu.
“Akhirnya oleh Pak Darto masalah ini diadukan ke Komisi C. Tapi juga buntu,” ujar Baktiono.
Permasalahannya, menurut Baktiono, sejak 2009 Joko membangun rumah. Tahun 2015, ada pengaduan dari warga sebelahnya (Darto) yang tembok rumahnya retak-retak akibat pembangunan rumah tersebut.
“Pengaduannya sejak 2015. Ini kan kasus yang hampir Komisi C tak pernah menangani persoalan yang pengaduannya 11 tahun silam, “tandas Baktiono.
Pengaduan yang terjadi selama ini, lanjutnya, ada pembangunan gudang atau pembangunan apartemen atau rumah yang merugikan warga saat itu. Jadi, kelihatan jelas yang rusak mana, yang dirugikan siapa, yang membangun siapa, dan yang dianggap dirugikan siapa, itu berulang kali bisa diselesaikan Komisi C dengan baik.
Namun dalam kasus ini, Komisi C sudah menyampaikan opsi kepada kedua belah pihak untuk bermusyawarah, tapi juga tidak ada titik temu. “Sebelum kasus ini diselesaikan ke ranah hukum, Komisi C ingin membawa kasus ini ke tim independen yang difasilitasi pemerintah,” ibaunya.
Lebih jauh, dia menuturkan, semula Darto yang merasa dirugikan minta ganti rugi Rp 150 juta, tapi belakangan tuntutan diturunkkan menjadi Rp 50 juta. Sebenarnya, pihak Joko pernah memberikan bantuan untuk perbaikan Rp 5 juta, tapi ditolak.
Guna mengetahui penyebab keretakan rumah Darto, Baktiono punya usulan mendatangkan tim independen yang difasilitasi Pemkot Surabaya (Dinas Cipta Karya). Apabila kerusakan bangunan rumah tersebut disebabkan pembangunan rumah Joko, maka biaya tim independen dan biaya kerusakan akan ditanggung Joko. Dan pihak Joko pun setuju membayarnya.
Sebaliknya, jika kerusakan tersebut bukan karena pembangunan rumah Joko, maka pengadu (Darto) yang harus menanggung biaya tim independen.
Tapi rupanya pihak Darto keberatan membayar biaya tim independen yang besarnya kurang lebih Rp 20 juta. Itu pun hanya untuk visual atau melihat saja.
“Karena penyelesaian dengan musyawarah menemui jalan buntu, ya silakan saja mereka menyelesaikan sendiri kasus ini melalui lembaga lain. Yakni lewat jalur hukum ke pengadilan. Itu yang memungkinkan ditempuh keduanya, “tandas Baktiono.
Sementara Edward Nainggolan, perwakilan Joko yang hadir dalam hearing menuturkan, kalau rumah Joko dibangun 2009. Terus pada 2015 tiba- tiba ada pengaduan kalau rumah Darto retak, dan selanjutnya pada 2020 dilaporkan ke kelurahan. Jadi, setelah 11 tahun baru dilaporkan.
“Mereka menuduh gara-gara bangunan kita rumah Pak Darto retak. Dimediasi RT/RW, kita siap membantu perbaikan Rp 5 juta, tapi tidak diterima,” jelas dia.
Selanjutnya permasalahan ini dibawa ke kantor kelurahan, kecamatan dan Pemkot Surabaya, namun tetap tak ada jalan keluar. Karena itu harus mendatangkan tim ahli untuk mengkajinya.
“Mereka menuntut kita untuk memberikan ganti rugi semuanya atau membangun kembali. Ya enggak bisa, harus dibuktikan dulu oleh ahli tanah. Apalagi lahan di sini dulu adalah rawa-rawa.Rumah kita pondasinya dari batu kali, sementara rumah mereka berlantai dua. Kalau dari kajian tim ahli nanti terbukti penyebab kerusakan rumah Pak Darto karena bangunan rumah kita, ya kita bersedia menanggung 100 persen. Tapi kalau tak terbukti mereka yang bayar tim ahli, “tutur Edward Nainggolan.
Jika toh pihak Darto tak puas dan ingin membawa kasus ini ke ranah hukum, Edward Nainggolan mengaku tak masalah dan siap meledeninya.”Ya, kita siap ikuti mereka,” tegas dia.
Sementara Hadi Radianto, putra dari Darto menuturkan bahwa rumahnya retak- retak terjadi pada 2015. Waktu itu, dirinya tidak melakukan mediasi di tingkat kampung atau kelurahan, tapi akan diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kita sempat melakukan teguran secara lisan, tapi enggak dihiraukan oleh Pak Joko. Karena Pak Joko memang tidak tinggal di situ. Aset tersebut dikontrakkan. Sehingga kita kesulitan berkomunikasi secara intens terkait kerusakan rumah tersebut, ” beber dia.
Karena teguran lisan tak direspons, akhirnya pada 2020 kasus ini diadukan ke perangkat kampung. Saat dimediasi RT/RW, Joko tidak datang. Baru ketika mediasi di kelurahan,Joko mengirimkan perwakilannya, Edward Nainggolan.
Soal bantuan Rp 5 juta dari Joko untuk perbaikan,Hadi mengaku pihaknya bukan tak mau menerima bantuan itu, tapi yang diharapkan adalah jasa untuk perbaikan.” Kita arahkan ke sana (jasa perbaikan), mengingat kerusakan rumah kami cukup parah, bahkan bisa dikatakan tidak layak huni lagi,” pungkas dia. (KN03)