Jakarta, mediakorannusantara.com – Menteri Koodinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengenang keberhasilan-nya dalam membentuk Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ketika menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada periode Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.
“Kementerian kita, pada waktu itu berhasil membentuk undang-undang sekaligus membentuk pengadilan HAM ad hoc dan juga menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujar Yusril dalam acara penyambutan menteri dan wakil menteri kabinet baru di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin.21/10
Atas capaian-capaian tersebut, Yusril mengatakan bahwa Indonesia dapat menghadapi tantangan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengancam akan membentuk pengadilan internasional atau international tribunal untuk mengadili Indonesia.
“(Pengadilan tersebut) atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang diduga terjadi di negara kita. Alhamdulillah dapat kita hindarkan bersama,” tutur Yusril.
Akan tetapi, tiga pasal dari Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menjadi rujukan Yusril telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.
Adapun ketiga pasal yang dibatalkan oleh MK dari UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah Pasal 1 angka 9 yang berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.
Selanjutnya, Pasal 27 yang berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.
Serta Pasal 44 yang berbunyi, “Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM”.
Jimly Asshiddiqie yang saat itu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pernyataannya termaktub dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006.
Pasal-pasal tersebut dianggap menutup kemungkinan korban untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan dan tidak memberi kepastian hukum.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mendorong agar pembahasan RUU KKR kembali menuai perhatian pemerintah.
RUU KKR, kata dia, dapat memberi landasan hukum dan kebijakan yang lebih substantif bagi upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Atnike juga meyakini UU KKR dapat memperkuat kelembagaan dan dukungan sumber daya bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban. ( wa/ar)