Jakarta (MediaKoranNusantara.com) – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Komisi Kepolisian Nasional Mahfud MD memastikan penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi, akan diteruskan.
Mahfud menegaskan kalau ingin mencari kebenaran, biarkanlah jurnalis bekerja dan telah menjadi prinsip bahwa pemerintah seharusnya memberikan perlindungan kepada jurnalis.
“Saya sudah mendengar dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers, dan Polda Jawa Timur. Saya telah bicara dengan Kapolda (Jatim), kasus itu akan terus di-follow up (ditindaklanjuti), sudah prarekonstruksi dan Kapolda menyatakan akan diteruskan kasusnya sampai jelas posisi hukumnya seperti apa,” kata Mahfud saat berdialog dengan perwakilan AJI Indonesia dan LBH Pers di Kantor Kemenko Polhukam, di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Hadir dalam pertemuan tersebut Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Wawan ABK, dan Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Lexy Rambadeta.
Menurut Mahfud, secara prinsip, pemerintah memang harus melindungi jurnalis. “Bagi kami pemerintah, jurnalis bukan musuh, tetapi teman untuk mempercepat pengungkapan kasus. Oleh sebab itu, kita berharap pekerjaan jurnalis jangan diganggu. Siapa yang mengganggu jurnalis berarti dia punya kesalahan yang ingin ditutupi atau ingin menutupi kesalahan orang lain,” katanya.
Mahfud menambahkan kalau ingin mencari kebenaran, biarkanlah jurnalis bekerja. “Nanti kalau jurnalisnya salah khan ada mekanismenya tersendiri. Ada mekanisme internal di Dewan Pers berdasarkan kode etiknya tersendiri. Kalau masuk ke soal hukum ya ada hukumnya, tetapi jangan diganggu ketika sedang bekerja,” kata dia.
Kepada Menko Polhukam, Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas menyampaikan AJI meminta pemerintah serius menyelesaikan kasus-kasus kekerasan pada jurnalis, termasuk mengusut semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi.
Pembiaran pada kasus kekerasan yang menimpa jurnalis menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Kekerasan yang menimpa Nurhadi bukan kali pertama terjadi. Sepanjang tahun 2020, AJI mencatat terjadi 84 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di berbagai daerah. Sebagian besar kasus tersebut tidak pernah diusut aparat.
“Pemerintah harus menunjukkan komitmen melindungi kebebasan pers dengan tidak membiarkan adanya impunitas terhadap para pelaku kekerasan yang telah merusak demokrasi kita,” ujar Ika.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyampaikan kekerasan yang menimpa Nurhadi merupakan pelanggaran pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena selain pengiayaan, pelaku juga menghalangi aktivitas jurnalistik ketika para pelaku mematahkan simcard dan mereset telepon seluler Nurhadi.
“Kami mendorong penegak hukum untuk mengusut kasus ini dan mencari pelakunya siapa. Hingga sekarang sudah dihadirkan dua terduga pelaku, tapi harapannya tidak berhenti di situ karena yang melakukan kekerasan banyak,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Bidang Advokasi AJI Indonesia, sepanjang tahun 2020, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta 17 kasus, Malang 15 kasus, Surabaya tujuh kasus, Samarinda lima kasus, Palu, Gorontalo, dan Lampung masing-masing empat kasus.
Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi 25 kasus, kekerasan fisik 17 kasus, perusakan, perampasan alat, atau data hasil liputan 15 kasus, dan ancaman atau teror delapan kasus.
Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul orang tidak dikenal sembilan kasus, dan warga tujuh kasus.
Kepada Menko Polhukam, perwakilan AJI Indonesia dan LBH Pers juga menyampaikan catatan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir, termasuk kekerasan di ranah digital dan ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). (KN06)