Surabaya (MediaKoranNusantara.com) – Panitia Khusus (Pansus) menyoroti sejumlah hal mengenai Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur Jatim akhir tahun 2021. Sejumlah hal yang menjadi sorotan itu mulai dari penyusunan, penganggaran dan penatausahaan keuangan tahun 2021.
Hal tersebut sebagaimana dikatakan Juru Bicara Pansus LKPJ Gubernur Jatim akhir tahun 2021, Samsul Arifin dalam rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPRD Jatim pada Senin (25/4/2022) lalu.
Poin pertama yang menjadi sorotan Pansus adalah mengenai perubahan mendahului yang dilakukan Pemprov Jatim pada tahun 2021 hingga enam kali dengan alasan kedaruratan dan refocusing. Langkah tersebut, oleh Pansus dinilai tidak didukung dengan kebijakan realokasi anggaran yang jelas dan transparan.
“Sehingga belum memberi dampak (impact) yang nyata bagi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) atau penyelesaian masalah pandemi Covid-19 dan justru memunculkan dugaan ketidaktransparan anggaran,” kata Samsul Arifin.
Sedangkan poin kedua yang menjadi sorotan Pansus adalah mengenai dana hasil refocusing/ realokasi sebesar Rp.1,313 triliun yang kegunaan dalam rangka mendukung penanganan Pandemi Covid-19 dinilai belum transparan.
Pansus melihat, dana hasil refocusing tersebut dampaknya belum didukung oleh informasi dan pelaporan yang jelas dan transparan terhadap penggunaan. Bahkan pula, pelaporan mengenai penerima manfaat dan dampaknya bagi masyarakat. “Hal inilah yang menjadi pembicaraan hangat di masyarakat,” sebut Samsul.
Persoalan yang hampir sama juga disoroti Pansus mengenai Belanja Tidak Terduga (BTT) yang merupakan pengeluaran atas beban APBD untuk keadaan darurat termasuk keperluan mendesak Rp369,936 miliar atau 47,58 persen dari total anggaran Rp777,435 miliar. Dalam KLPJ itu, Pansus juga menilai, bahwa BTT belum jelas penggunaannya.
“Adapun mengenai penggunaannya, belum didukung dengan informasi yang jelas mengenai rincian by name by address serta pencapaian programnya,” ungkap dia.
Secara umum, Samsul menerangkan, bahwa proporsi belanja masih didominasi oleh Belanja Operasional sekitar 60 persen. Sedangkan alokasi Belanja Modal yang berdampak langsung terhadap masyarakat dinilainya menjadi sangat kecil.
“Perlu dilakukan efisiensi pada sisi belanja operasional agar kapasitas riil fiskal Provinsi Jawa Timur dapat ditingkatkan untuk mendukung implementasi program prioritas,” tegas Samsul
Sementara terkait dengan Struktur APBD Provinsi Jawa Timur, sebagaimana ketentuan Permendagri No 33 tahun 2017, Pansus berpendapat, bahwa seharusnya pemerintah daerah memprioritaskan alokasi Belanja Modal.
Namun demikian, kata Samsul, Pansus melihat, Belanja Modal Provinsi Jatim selama tiga tahun terakhir justru mengalami penurunan. Itu tercatat pada tahun 2019 sebesar 10,68 persen, tahun 2020 sebesar 7,03 persen dan tahun 2021 sebesar 2,02 persen.
Di samping itu pula, Samsul juga mengatakan, bahwa pemanfaatan aset milik Pemprov Jatim juga menjadi catatan oleh Pansus. Sebab, Pansus memandang Pemprov belum optimal memanfaatkan aset yang dimilikinya tersebut. Bahkan pula masih banyak aset yang belum ditangani dengan serius pemanfaatannya.
“Sehingga banyak aset milik provinsi yang terlantar bahkan pindah tangan kepada pihak ketiga,” tandasnya. (KN01)