Jakarta (KN) – Komisi Nasional Hak Asasi (KOMNAS HAM) mendukung upaya petani tembakau yang memperjuangkan haknya agar tidak terlindas oleh kebijakan global melalui rencana aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control-FCTC) oleh Pemerintah RI.Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriady yang menerima perwakilan Petani tembakau, cengkeh, buruh pabrik rokok dan pecinta kretek dikantor Komnas HAM, Selasa (10/12/2013) menyatakan bahwa pihaknya akan lebih memperhatikan substansi FCTC sehingga tidak mengabaikan hak ekosob bila jadi diaksesi.Dia menegaskan bahwa pemenuhan hak di suatu bidang jangan sampai menegasikan hak di bidang lain.
“Dari perspektif hak kesehatan memang harus ada perlindungan untuk warga, itu kita perjuangkan. Apapun namanya instrument internasional kalau punya dampak negative dalam hal ini petani tembakau harus lebih arif memutuskannya sebelum menandatanganinya,”jelas Dianto yang akan membawa hasil public hearing tersebut ke rapat paripurna Komnas HAM pada Januari mendatang.
Dalam kesempatan ini, petani tembakau meminta agar Komnas HAM untuk tak menyetujui aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) karena mengabaikan penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Komnas HAM diminta untuk terlibat aktif mendorong pemerintah agar menyusun strategi yang jelas dalam melindungi hak ekosob warga negara yang hingga saat ini bergantung pada pertanian dan industri tembakau serta barang olahannya.
“Kami mendesak Komnas HAM agar memberi masukan kepada pemerintah dalam membuat instrument hukum dan aturan dalam negeri yang terkait dengan konsumsi dan peredaran tembakau serta dampak kesehatan publik untuk tidak mengarah pada penciutan apalagi mematikan kegiatan ekonomi, industri tembakau dan rokok kretek,”ujar Suwaji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) D.I. Yogyakarta.
Selain Suwaji pertemuan ini juga dihadiri oleh Dr. Thomas Sunaryo, MSi (Direktur Eksekutif Center For Law and Order Studies), Suryadi Radjab (Pegiat HAM/PBHI), Bambang Isti Nugroho (Budayawan/Pecinta Kretek), Nurtanio Wisnu Brata (Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia/APTI), Sudarto (Sekjend Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman), Agus Setiawan (APTI Jawa Tengan), Saminudin (APTI NTB), dan Imron (APTI Jawa Timur).
Mengaksesi FCTC, berarti akan ada standardisasi produk tembakau yang berpotensi melenyapkan kretek dan menghilangkan tembakau lokal. Dengan aksesi FCTC akan memberikan peluang lebih besar lagi untuk importasi dan tidak menutup kemungkinan adanya kartel-kartel yang akan menyudutkan petani tembakau rakyat.Akibatnya serapan tenaga kerja baik buruh rokok maupun petani tembakau berpotensi berkurang begitu pula dengan kesejahteraannya.
Aktivis HAM dan juga Ketua Umum Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) Standarkiaa Latief mengatakan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mewajibkan semua negara untuk memenuhi hak-hak tersebut seperti hak atas pekerjaan dan mendapatkan nafkah, hak atas upah yang layak dan kondisi kerja yang aman, hak atas kebebasan berserikat buruh dan jaminan social.
“Pemenuhan hak ekosob itu lebih karena keunggulan industri pengolahan tembakau ketimbang langkah yang diambil dan program pemerintah dalam menunaikan kewajibannya atas realisasinya untuk memperluas tenaga kerja. Keunggulan ini tidak terlepas dari sejarah panjang industri pengolahan tembakau khususnya rokok kretek yang menghubungkan hulu dan hilir dan disokong oleh sumber dan bahan yang berada di dalam negeri (local content) yang kuat,”ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtanio Wisnu Brata mengatakan FCTC akan mengancam hak ekonomi sebanyak 2,1 juta petani tembakau dan buruh tani serta 1,5 juta petani cengkeh, buruh perajang tembakau, petani pembibitan benih tembakau dan kuli angkut.
“FCTC bisa mengancam industri tembakau rakyat karena tembakau merupakan bahan baku dasar produksi kretek. Tembakau juga tanaman unggulan petani karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi,”ujarnya.
Indonesia hingga saat ini belum mengaksesi FCTC karena berbagai alasan diantaranya karena keunggulan-keunggulan industri hasil tembakau (sub sistem on farm maupun off farm) sehingga perlu diberi perlindungan sebagai bagian penting industri nasional, pelesrtarian budaya, penyelamatan warisan budaya, penyelamatan penerimaan negara dan variabel penting pertumbuhan ekonomi dalam hal penyerapan tenaga kerja (hulu hingga hilir).
Pemerintah, kata Nurtanio, seharusnya menerbitkan regulasi yang sesuai dengan kondisi industri di Indonesia. Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lain dalam skala, kontribusi dan permasalahan industri tembakau.Langkah ini dianggap lebih bijak ketimbang harus mengacu pada aturan internasional yang terindikasi sebagai instrumen modal asing untuk penguasaan perdagangan. Penerbitan sejumlah regulasi oleh pemerintah dinilai hanya bersifat pengendalian tanpa ada strategi yang jelas untuk mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan.
“Makanya kita mendesak agar pemerintah segera mengesahkan RUU Pertembakauan untuk menjadi UU,” ujarnya. (red)