Jakarta, mediakorannusantara.com- Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengatakan permintaan putusan sela Novel Baswedan dan sejumlah mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lainnya dalam perkara uji materi Undang-Undang KPK sepenuhnya tergantung kepada rapat permusyawaratan hakim (RPH).
“Semua terserah nanti bagaimana rapat hakim menyikapi kalau tadi akan ada permohonan provisi,” kata Suhartoyo selaku Ketua Majelis sidang panel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Panel MK, Jakarta, Senin.22/7
Pada mulanya, kuasa hukum para pemohon, Lakso Anindito, mengatakan bahwa pihaknya ingin mengajukan putusan sela yang salah satunya agar proses seleksi calon pimpinan KPK yang sedang berlangsung ditunda terlebih dahulu.
Lakso mengatakan perkara uji materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ini telah diajukan sejak bulan Mei 2024.
Akan tetapi, MK saat itu fokus menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres dan Pileg 2024 sehingga tidak bisa langsung menyidangkan perkara yang mereka ajukan.
Sementara itu, pendaftaran seleksi calon pimpinan KPK periode 2024–2029 telah berakhir pada 15 Juli 2024. Oleh karena itu, para pemohon meminta MK menjatuhkan putusan sela dimaksud.
“Nantinya pada revisi ini kami juga mengajukan terkait dengan putusan sela, Yang Mulia, apabila diperkenankan agar pemohon kami tidak semakin jauh kehilangan haknya dan tetap mendapatkan dispensasi atau bisa juga prosesnya ditunda pada proses seleksi yang sedang berlangsung,” ucap Lakso.
Mengenai hal itu, Suhartoyo mengatakan bahwa MK memang tengah fokus menangani perkara PHPU Pilpres dan Pileg saat Novel dan kawan-kawan mengajukan perkara tersebut.
Dijelaskan Suhartoyo, ketika MK melaksanakan kewenangan lain yang bersamaan dengan tahapan perkara pengujian undang-undang (PUU) maka tahapan persidangan PUU menyesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan lain dimaksud.
Hal itu, kata dia, telah diatur dalam Pasal 82 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Jadi, memang kemudian selalu dijadikan pendirian MK, perkara Pengujian Undang-Undang di-hold (ditahan), dihentikan, karena memang sidang yang (PHPU) Pilpres itu sifatnya maraton, bahkan kami di hari Sabtu-Minggu pun sampai tidak libur,” ucap Suhartoyo.
Di sisi lain, Suhartoyo menyebut permohonan yang dikabulkan dalam putusan sela tergantung kepada argumentasi hukum yang ditawarkan.
“Tapi memang MK pada titik untuk mengabulkan yang putusan sela, provisi itu, jarang sekali. Meskipun memang ada (yang dikabulkan). Itu artinya memang sangat dikaitkan dengan case by case (kasus per kasus) bagaimana relevansi dan bobot argumentasi yang disampaikan,” ujar Suhartoyo.
Dalam perkara ini, Novel Baswedan dkk. meminta kepada MK agar Pasal 29 huruf e Undang-Undang KPK, yakni perihal syarat usia calon pimpinan KPK dimaknai ulang menjadi:
Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun. ( wa/ar)