Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, dari Fraksi PKB, Hikmah Bafaqih, saat ditemui di Surabaya, Selasa (11/11/2025).
Surabaya (mediakorannusantara.com) – Angka perkawinan anak di Jawa Timur menunjukkan tren penurunan dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Proporsi Perempuan Umur 20–24 Tahun yang Berstatus Kawin atau Hidup Bersama Sebelum Umur 18 Tahun, angka di Jawa Timur terus menurun dari 10,44 persen pada 2021 menjadi 9,46 persen pada 2022, dan kembali turun menjadi 8,86 persen pada 2023.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya juga mencatat penurunan permohonan dispensasi kawin di Jawa Timur. Pada 2021 tercatat sebanyak 17.151 kasus, turun 11,99 persen menjadi 15.095 pada 2022. Tren penurunan berlanjut pada 2023 dengan penurunan sebesar 18,29 persen menjadi 12.334 kasus.
Meski demikian, fenomena perkawinan anak dan meningkatnya jumlah janda usia muda atau JUS (Janda Usia Sekolah) masih menjadi perhatian sejumlah pihak.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB, Hj. Hikmah Bafaqih, mengungkapkan penurunan angka perkawinan anak juga terlihat dari pengajuan dispensasi kawin di pengadilan agama.
“Dari 2022 itu kan sekarang ini menurun. Ada penurunan angka perkawinan anak, dispensasi pengajuan perkawinan anak ke pengadilan agama, baik negeri maupun tinggi,” kata Hikmah, Selasa (11/10/2025).
Namun, kata dia, data tersebut tidak termasuk dengan jumlah pernikahan siri atau secara agama. “Ini nggak termasuk, nggak terhitung yang siri, yang dibawa tangan. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya yang dibawa tangan,” ujarnya.
Hikmah menilai, tingginya angka perkawinan anak berdampak langsung pada meningkatnya angka perceraian usia muda.
“Kalau misalnya angka perkawinan anak tinggi, perceraian anak juga pasti tinggi. Kalau dalam Islam itu pernikahan itu kan targetingnya adalah bil ma’ruf, ya, untuk kebaikan,” katanya.
“Ketika kemudian menikah hanya karena sudah hamil duluan dan sebagainya, dilandasi dengan tujuan-tujuan yang kurang kuat untuk membina hubungan dalam keluarga, ya pasti rentan juga untuk jadi perceraian. Makanya perkawinan anak tinggi, perceraian anak meningkat, janda usia muda juga luar biasa,” lanjutnya.
Menurut Hikmah, wilayah Tapal Kuda atau kawasan di bagian timur Jawa Timur disebut memiliki angka cukup tinggi terkait kasus janda usia muda.
“Kalau angkanya sih menyebar, tertinggi malah Kabupaten Malang Tapal Kuda kemarin di BKKBN. Itu untuk yang sudah jadi jandanya ya,” kata Pegiat Isu Pelindungan Perempuan dan Anak tersebut.
Ia menegaskan pentingnya kesiapan mental dan spiritual sebelum memutuskan menikah, terutama bagi anak di bawah umur.
“Jangan pernah memaksakan perkawinan anak dengan alasan apa pun ketika mereka tidak memiliki kesiapan mental dan spiritual. Kalau ekonomi mungkin karena masih anak pasti enggak siap, tapi misalnya ada dukungan dari dua keluarga, okelah. Tapi mental, spiritual, dan engagement di antara keduanya itu harus jelas, bukan karena menutup aib keluarga,” jelasnya.
Hikmah juga menekankan pentingnya peran orang tua untuk tetap mengawasi dan membina anak yang menikah di usia muda.
“Kehadiran orang tua untuk terus membina itu penting agar tidak terjadi perceraian dengan cepat. Karena begitu kemudian binaan atau engagement dengan orang tua, keluarga besar kedua belah pihak itu hilang, mereka juga kehilangan fondasi,” ujarnya.
Hikmah menilai, banyak anak yang menikah di usia muda akhirnya berhenti sekolah. “Sebetulnya kalau mereka memutuskan menikah di usia anak itu kan mereka rata-rata berhenti sekolah. Ini yang kita sesalkan,” katanya.
Ia menambahkan, dalam sejumlah kasus yang ditanganinya, anak-anak yang hamil di usia sekolah tidak disarankan untuk langsung menikah.
“Dalam banyak kasus yang saya tangani untuk anak-anak yang hamil tidak direkomendasi untuk menikah. Ya sudah, mereka hamil juga karena by accident, ya tentu itu tidak menjadi dasar untuk pernikahan. Karena menikahkan anak itu jauh lebih berbahaya dibanding menyelamatkan malunya orang tua,” tegas Hikmah.
Terkait isu meningkatnya Janda Usia Sekolah (JUS) di wilayah Tapal Kuda, Hikmah menyebut masih menunggu data resmi dari BKKBN Jatim.
“Katanya begitu yang di Tapal Kuda, tapi saya sendiri belum dapat laporannya dari BKKBN. Apakah ini terkait secara sosiologis, seperti apa, kenapa yang di Tapal Kuda yang banyak, padahal angka tertinggi dispensasi usia pernikahan anak itu di Malang sebetulnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, faktor dukungan keluarga dan lingkungan menjadi salah satu penyebab perkawinan anak tetap bertahan.
“Berarti kan ada hal lain yang bernama dukungan, support dari keluarga besar, support dari sekitar yang membuat perkawinan anak itu tetap bertahan. Kalau terpaksa dikawinkan, caranya gimana, mereka bisa didampingi agar tetap baik-baik saja,” pungkasnya. (KN01)
